Friday, April 06, 2007

KONVENSI HAK –HAK PENYANDANG CACAT

Pada tanggal 30 Maret 2007 lalu lebih dari 80 negara, termasuk Indonesia yang diwakili oleh Menteri Sosial, Bachtiar Chamsyah. menandatanganani Konvensi tentang Perlindungan dan Pemajuan Hak serta Martabat Penyandang Cacat (Convention on the Protection and Promotion of the Rights and Dignity of Persons with Disabilities). Konvensi ini telah disetujui Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) dalam sidang ke-61 , tanggal 13 Desember lalu . Peristiwa tersebut menjadi momentum penting terhadap pengakuan hak penyandang cacat untuk hidup setara dengan warga masyarakat laiinnya dan kewajiban Negara Pihak untuk mewujudkannya.


Hal ini nampak pada prinsip-prinsip yang termuat dalam konvensi, yaitu menghormati harkat dan martabat Penyandang Cacat, non-diskriminatif, partisipasi penuh, aksedibilitas, penghormatan terhadap perbedaan dan penerimaan Penyandang Cacat sebagai bagian dari keanekaragaman manusia dan kemanusiaan. Sesungguhnya tidak ada hak-hak baru bagi penyandang cacat yang termuat di dalamnya; juga tidak ada sesuatu hak yang warga masyarakat lainnya tidak miliki sebelumnya. Konvensi ini lebih menekankan bahwa penyandang cacat harus diberi kesempatan yang sama dan dijamin hak-haknya sebagaimana warga masyarakat lainnya. Konvesi ini sekaligus merupakan refleksi perubahan paradigma dalam penanganan masalah penyandang cacat dari yang bersifat remedial dan belas kasihan pada pendekatan hak asasi manusia..
Jutaan penyandang cacat dunia berharap konvesi tersebut dapat membawa perubahan pada terciptanya masyarakat yang tidak diskriminasi dalam hal pendidikan, pekerjaan, dan bidang kehidupan lainnya, termasuk informasi dan lingkungan fisik yang bebas hambatan bagi semua; kesamaan untuk mendapatkan jaminan di muka hukum dan inklusif secara penuh dalam masyarakat dengan tanpa membedakan usia, jenis kelamin, lokasi tempat tinggal dan jenis kecacatan.

Keikutsertaan Pemerintah Indonesia dalam penandatangan konvensi tersebut tentunya bukan sekedar basa basi pergaulan masyarakat internasional, karena selain membawa konsekuensi tindak lanjut (pemantauan oleh dunia internasional), negara ini juga berkepentingan untuk mengimplementasikannya sebagaii negara yang mempunyai prevalansi disabilitas (angka kecacatan) yang cukup tinggi – mencapai 39 per sen dari jumlah penduduk - menurut Survey Kesehatan Rumah Tangga Departemen Kesehatan tahun 2001.

Untuk mengimplementasikan Konvensi Hak Penyandang Cacat ada beberapa hal yang perlu menjadi perhatian, Pertama ,yaitu tumbuhanya kesadaran masyarakat terhadap pendekatan hak asasi dalam penanganan kecacatan. Hal ini berarti harus ada edukasi pada masyarakat dalam segala tingkatan bahwa hak-hak yang mereka miliki sebagai warga masyarakat juga seharusnya dinikmati oleh penyandang cacat. Pemahaman kecacatan bukan cuma masalah medis atau rehabilitasi untuk memulihkan kondisi kerusakan organ atau fungsi anatomi seseorang. Kondisi kecacatan juga bukan sesuatu yang menjadi objek belas kasihan atau sesuatu yang harus disembunyiikan dan dikucilkan. Kecacatan harus dipahami sebagai situasi yang kompleks yang terjadi akibat interaksi antara kerusakan / kelainan anatomi seseorang, dengan sikap masyarakat, serta adanya rintangan/hambatan dari lingkungan fisik yang tidak akomodatif.

Kedua, perlu adanya reformasi dibidang hukum dan perundang-undangan.. Segala peraturan , kebijakan atau tindakan yang bersifat diskriminasi terhadap penyandang cacat harus ditinjau ulang dan dilakukan perbaikan serta sanksi terhadap pelanggarnya.. Misalnya, ketentuan persyaratan sehat jasmani dan rohani dalam melamar pekerjaan , begitu juga persyaratan untuk dipilih dalam Pemilihan Umum. Ketentuan sehat jasmani dan rohani sering diartikan sebagai kondisi tidak cacat. Begitu pula dalam hal penggunaan transportasi dan fasilitas umum,.Lihat saja, hampir sepanjang tahun, trotoar di DKI Jakarta dan kota besar lainya dibongkar pasang, namun tak pernah memperhatikan aspek aksessibilitas fisik dan lingkungan yang dibutuhkan kalangan penyandang cacat. padahal sejak tahun 1981 Pemda DKI telah mengeluarkan aturan aksesibilitas bagi penyandang cacat pada fasilitas umum dan bangunan. Dan diperkuat lagi dengan Undang-undang Bangunan Tahun 2002 serta Kepmen PU Nomor 468 tahun 1999 tentang persyaratan teknis bangunan dan lingkungan.
Ketiga, pemerintah dalam setiap tingkat perlu mengimplementasikan administrasi penanganan kecacatan yang bersifat integratif termasuk pembiayaannya. Mengingat hak-hak penyandang cacat bersifat asasi, maka hak-hak tersebut seharusnya terdistribusikan secara luas, yang berarti juga perlu pelembagaan pengakuan hak-hak orang dengan disabilitas pada setiap sektor dan level pemerintahan. Anggapan bahwasanya mereka adalah tanggung jawab Departemen Sosial an sich!, sudah waktunya diubah. Permasalahan penyandang cacat tidak cukup diatasi hanya oleh Departemen Sosial.

Untuk itu, saatnya pemerintah melaksanakan kebijakan pengarusutamaan masalah kecacatan, misalnya dengan sistem pembiayaan pembangunan yang peka terhadap isu disabilitas (disability budgeting) Artinya, setiap sektor dan setiap level pemerintahan , memasukan orang dengan disabilitas sebagai sasaran pelayanannya termasuk menganggarkan pembiayaan untuk keperluan tersebut.. Misalnya, Program Penanggulangan Kemiskinan, juga diperuntukan bagi orang dengan disabilitas; begitu juga dalam program kesehatan seperti kesehatan reproduksi, juga ditargetkan bagi orang dengan disabilitas.


Hal lain yang perlu menjadi perhatian dalam implementasi Konvensi Hak Penyandang Cacat adalah bagaimana hak-hak tersebut ditransformasikan dalam praktek-praktek budaya lokal. Tidak dipungkiri bahwa praktek budaya lokal terhadap orang dengan disabilitas sudah melembaga dari generasi ke generasi dan bervariasi antara satu budaya dengan lainnya. Agar praktek budaya lokal dapat mendukung implementasi Konvensi tersebut, perlu dikomunikasikan dengan melibatkan media massa , termasuk kepada pemuka adat dan agama.