Monday, December 13, 2004

CACATAN MENUTUP DEKADE ASIA PASIFIK BAGI PENYANDANG CACAT

Indonesia adalah salah satu negara anggota ESCAP
(Komisi Ekonomi dan Sosial PBB untuk Asia dan
Pasifik) yang menandatangi Resolusi 48/3 tahun 1992
tentang Dasawarsa Asia Pasifik untuk Penyandang Cacat,
termasuk berbagai agenda aksi untuk mengisi dasawarsa
tersebut. Setiap dua tahun sekali implementasi dari
agenda aksi tersebut dievaluasi dalam pertemuan
tingkat tinggi pemerintahan anggota ESCAP. Tahun 2002
merupakan akhir Dasawarsa Asia Pasifik untuk
Penyandang Cacat. Bagaimana peranan dan pencapaian
Indonesia dalam kurun waktu tersebut? Berikut ini
beberapa cacatan tentang hal tersebut.

Agenda aksi dasawarsa Asia dan Pasifik untuk
penyandang cacat dimaksudkan untuk meningkatkan
kualitas hidup penyandang cacat melalui prinsip
kesetaraan dan partisipasi penuh dalam berbagai aspek
kehidupan. Agenda aksi terdiri dari 12 bidang, yaitu:
koordinasi nasional bidang kecacatan,
perundang-undangan, kepedulian masyarakat ,
aksesibilitas dan komunikasi, pendidikan,
ketenagakerjaan, rehabilitasi, penyediaan alat bantu,
pemberdayaan organisasi penyandang cacat , serta
kerjasama regional dan internasional.

Secara keseluruhan, Indonesia sudah berupaya untuk
melaksanakan agenda aksi itu, hal ini dapat dilihat
dari upaya-upaya yang telah dilakukan baik oleh
pemerintah maupun oleh masyarakat atau pemerintah
bersama-bersama dengan masyarakat, meskipun harus
diakui hasil dari pelaksanaan itu belum banyak memberi
perubahan pada perbaikan kondisi penyandang cacat
secara nyata.

Berberapa upaya yang telah dilakukan misalnya,
pengkoordinasian masalah kecacatan secara nasional
dengan pembentukan Tim Koordinasi Usaha Kesejahteraan
Sosial Penyandang Cacat. Pengkoordinasian penangan
masalah kecacatan secara nasional diyakini dapat
menyatupadukan dan menghindari tumpang tindih program
maupun kegiatan dan sekaligus memudahkan penyampaian
pelayanan hingga ke daerah terpencil. Pemikiran
tentang ini sudah dilaksanakan di Indonesia jauh
sebelumpendeklarasian Dasawarsa Asia-Pasifik untuk
Penyandang Cacat oleh UN-ESCAP. Hal ini dapat dilihat
dalam Keppres RI No. 39 Tahun 1983 tentang Lembaga
Koordinasi Nasional Penyandang Cacat. Keppres ini
terakhir disempurnakan tahun 1999 dengan No. 83.
Dalam kelembagaan ini Departemen Sosial menjadi
leading sector , namun ketika Departemen Sosial
dilikuidasi tahun 1999 hingga 2001, lembaga ini
menjadi stagnan. Kevakuman lembaga ini dengan
ketiadaan Depsos menyiratkan bahwa permasalahan
penyandang cacat di negeri ini masih terfokus pada
pendekatan kesejahteraan sosial, padahal permasalahan
penyandang cacat meliputi berbagai aspek hidup dan
kehidupan. Beruntung Depsos hadir kembali dan untuk
mengaktifkan kembali fungsi pengkoordinasian dalam
penanganan masalah penyandang cacat, Depsos kembali
berinisiatif untuk membentuk Tim Koordinasi Usaha
Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat (Tim UKS Paca)
yang keanggotaannya terdiri dari beberapa wakil dari
instansi terkait, organisasi penyandang cacat,
pemerhati bidang kecacatan dan organisasi sosial di
bidang kecacatan , termasuk organisasi para penyandang
cacat.

Dalam hal peraturan perundang-undangan, di tahun 1997
pemerintah bersama DPR berhasil menghadirkan
Undang-undang No. 4 tentang Penyandang Cacat.
Undang-undang ini menjadi landasan untuk peningkatan
kualitas hidup penyandang cacat yang didsarkan atas
prinsip kesetaraan (persamaan) kesempatan dan
partisipasi penyandang cacat dalam berbagai aspek
hidup dan kehidupan. Beberapa hal yang menjadi bahasan
dalam UU ini antara lain masalah aksessibilitas,
rehabilitasi, kesempatan kerja, kesehatan serta
pendidikan.

Undang-undang tersebut juga sudah dikembangkan lebih
jauh dalam bentukperundang-undangan lainnya, seperti
Keppres, Peraturan Pemerintah, dan berbagai Keputusan
Menteri, Gubernur maupun dalam bentu Surat Edaran.
Sayangnya, meskipun UU ini sudah menyatakan tentang
persamaan kesempatan bagi penyandang cacat, masih
banyak peraturan perundang-undangan yang ada yang
bersifat diskriminatif terhadap penyandang cacat dan
belum ada upaya untuk melakukan perubahan (amandamen)
terhadap berbagai peraturan tersebut. Selain itu,
masih belum ada mekanisme pengawasan yang memadai atas
pelaksanaan Undang-undang No.4 / 1997 tersebut (law
enforcement). Sebagai contoh, masalah aksesibilitas
fisik. Dalam UU No.4/1997 dinyatakan bahwa persamaan
kesempatan diwujudkan melalui penyediaan
aksessibilitas. Lebih lanjut Kepmen PU No. 468 tahun
1998 menjabarkan masalah aksessibilitas fisik ini yang
berkaitan dengan lingkngan dan bangunan untuk publik.
Kemudian Menteri Perhubungan juga mengeluarkan Surat
Keputusan tentaang Penyediaan Aksesibilitas dalam
pemakaian transportasi umum bagi penyandang cacat dan
lansia, yang dituangkan dalam SK No. 71 tahun 1999.

Aksessibilitas yang merupakan prasyarat bagi
penyandang cacat untuk dapat berpartisipasi dalam
masyarakat bukan hanya bersifat fisik, seperti
lingkungan yang bebas hambatan dan transportasi yang
mudah, tetapi juga meliputi aspek non fisik seperti
sikap atau penerimaan masyarakat akan keberadaan
pnyandang cacat. Sikap yang diharapkan adalah
penerimaan secara wajar dan meniadakan diskriminasi
serta stigmasasi.

Catatan lain yang perlu menjadi perhatian adalah
masalah informasi dan data penyandang cacat. Hingga
saat ini informasi dan data tentang penyandang cacat
masih bersifat umum, itupun belum ada keseragaman
definisi tentang penyandang caat dan cara pengumpulan
data yang digunakan. Sebagai contoh, Depsos
mengelompokan jenis kecacatan atas dasar jenis cacat
tubuh, netra, mental, rungu dan wicara, psikotik dan
eks penyakit kronis. Sedangkan Depkes mengacu pada
definisi yang dikeluarkan WHO tentang Impairement,
Disability dan Handicap. Kehadiran data yang akurat
sangat diperlukan dalam perencanaan pelayanan bagi
penyandang cacat, misalnya, penyandang cacat yang
bermukim di pedesaan bisa jadi memerlukan pelayanan
yang berbeda dengan mereka yang tinggal di perkotaan.
Begitu juga penyandang caca anak, wanita yang
memerlukan pelayanan khusus. Untuk hal-hal tersebut
maka ketersediaan data dan informasi adalah sangat
penting.
Kesempatan kerja penyandang cacat, menjadi cacatan
penting dalam menutup Dekade Asia-Pasifik bagi
Penyandang Cacat. Belum ada keterangan yang dapat
dijadikan pegangan untuk mengetahui keberadaan
penyandang cacat yang masuk ke dalam sektor kerja
formal maupun yang mandiri secara ekonomi , namun
dapat dipastikan sangat sedikit sekali dari mereka
yang mamp menembus sektor kerja formal. Kenyataan ini
didukung oleh buruknya situasi perekonomian dalam
kurun waktu lebih dari 5 tahun terakhir yang berakibat
semakin banyaknya pengangguran dan semakin
kompetitifny persaingan memasuki bursa kerja.
Sebenarnya, peluang kerja bagi penyandang cacatsudah
dijamin dalam UU No.4 /1997 dengan penerapan Quota
system, yaitu setiap perusahaan diwajibkan
mempekerjakan penyandang cacat sebanyak 1 per sen dari
jumlah tenaga kerjanya atau membayar denda atau
dikenakan sanksi kurungan penjara. Namun, sayangnya
pelaksanaan ketentuan ini belum ditindaklanjuti secara
tegas, misalnya siapa yang berwenang melakukan
monitoring terhadap pelaksanaannya dan kepada siapa
denda dibayarkan.

Selain melalui kesempatan kerja di bursa kerja,
pemerintah juga sudah melakukan upaya peningkatan
keterampilankerja melalui program-program vokasional
training dan upaya kerja mandiri melalui KUBE
(Kelompok Usaha Bersaama). Strategi ini dapat
membantu menghapuskan/mengurangi pengangguran di
kalangan penyandang cacat, namun lagi-lagi program ini
sering berhenti di tengah jalan atau tidak
berkelanjutan.

Pemberdayaan organisasi penyandang cacat juga patut
menjadi cacatan. Kelompok penyandang caat sanat
penting peranannya dalam peningkatan kualitas hidup
penyandang cacat. Mereka mengupayakan advokasi bagi
kelompoknya dan menjadi role model . Keterlibatan
mereka dalam program-program yang menyangkut
penyandang cacat sangat diperlukan baik dalam hal
perencanaan, pelaksanaan maupun evaluasinya.
Keberadaan kebanyakan organisasi penyandang cacat
hingga kini belum dilengkapi dengan kemampuan
manajerial dan finansil yang memadai. Pelibatan mereka
yang berada di akar rumput (daerah dan daerah
terpencil) masih kurang dan perhatian masih cenderung
pada mereka yang di kota -kota besar. Untuk
peningkatan (capacity building) organisasi penyandang
cacat harus terus diupayakan agar mereka dapat menjadi
agen pembaruan yang efektif bagi kelompoknya.

Menutup Dekade Asia-Pasifik untuk Penyandang Cacat,
para pemimpin negara anggota ESCAP yang hadir pada
pertemuan tingkat tinggi di Otsu, Shiga, Jepang,
sepakat untuk melanjutkan Dekade kedua Asia-Pasifik
bagi Penyandang Cacat dan meneruskan agenda aksi yang
belum terlaksana. Kesepakatan itu dituangkan dalam
Kerangka kerja yang disebut Biwako Millenium Framework
yang bertemakan masyarakat untuk semua, bebas dari
hambatan dan rintangan bagi penyandang cacat baik
fisik maupun non fisik serta didasarkan pada hak
asasi manusia. Prioritas masalah kecacatan yang
menjadi target perhatian diantaranya adalah
pemberdayaan organisasi penyandang cacat, wanita
penyandang cacat, deteksi dini kecacatan dan
pencegahan kcacatan, pendidikan, ketenagakerjaan,
aksessibilitas dan penghapusan kemiskinan. (eva)

Thursday, December 09, 2004

PENCA DAN SISTEM PEMILU

Berpartisipasi dalam Pemilu, baik sebagai pemilih
ataupun dipilih adalah hak dan kwajiban setiap warga
negara. Pemilu diyakini mempunyai arti penting dalam
setiap penyelenggaraan pemerintahan karena Pemilu
adalah pelaksanaan dari gagasan demokrasi pemerintah
oleh rakyat. Suatu pemerintahan dianggap demokratis
apabila rakyat berpartisipasi di dalam jalannya roda
pemerintahan. Melalui Pemilu anggota parlemen sebagai
wakil rakyat dipilih, selanjutnya anggota parlemen
inilah yang membuat kebijakan untuk rakyat. Akan
tetapi, banyak anggota masyarakat yang tidak dapat
berpartisipasi dalam Pemilu, terutama para penyandang
masalah kesejahteraan sosial. Bahkan ada kecenderungan
untuk menghalangi mereka berpartisipasi secara
demokratis. Salah satu kelompok masyarakat penyandang
masalah sosial yang terabaikan haknya dalam sistem
Pemilu adalah para penyandang cacat (untuk selanjutnya
dalam tulisan ini disebut penca).

Partisipasi Politik Penca
Seperti disebutkan di atas, salah satu tujuan Pemilu
adalah memilih wakil rakyat untuk duduk di Parlemen,
dan selanjutnya anggota Parlemen yang membuat
kebijakan yang menyangkut pemenuhan kebutuhan rakyat
yang memilihnya. Kebijakan yang dibuat tentunya juga
menyangkut kebutuhan pelayanan yang dibutuhkan oleh
penyandang cacat sebagai warga negara. Bagi penca,
partisipasi untuk dapat dipilih dalam Pemilu adalah
penting sebagai "user" pelayanan publik untuk ikut
merumuskan kebijakan pelayanan yang dibutuhkannya,
karena sebagai "user" penca akan lebih tahu dan
mengerti apa kebutuhannya.
Dengan kata lain, penca perlu memiliki wakil di
Parlemen, untuk dapat menyuarakan aspirasi kaum penca
.
Kehadiran wakil penca di parlemen dapat melalui
partai politik ataupun dengan penunjukan dalam Utusan
Golongan. Penunjukan wakil penca di Parlemen melalui
Utusan Golongan dilakukan oleh beberapa negara seperti
Jepang, juga di Indonesia untuk Pemilu 1999.
Keterwakilan melalui Utusan Golongan bukanlah hal yang
mudah, karena memerlukan wakil yang benar-benar dapat
mewakili aspirasi penca yang terdiri dari berbagai
jenis kecacatan dan setiap jenis kecacatan mempunyai
kebutuhan yang berbeda. Untuk dipilih dalam proses
Pemilu, sistem Pemilu yang ada belum dapat memberikan
kesempatan bagi penca untuk menggunakan hak politiknya
secara wajar sebagaimana warga negara lainnya.

Beberapa Aturan Sistem Pemilu Berkenaan dengan
Kecacatan
Setiap negara memiliki aturan yang mengatur
keikutsertaaan warganegaranya dalam proses Pemilu.
Aturan Sistem Pemilu tersebut bagi penca dapat menjadi
pendorong untuk ikut serta berpartisipasi dalam Pemilu
dan juga sekaligus merupakan hambatan bagi
keikutsertaaanya dalam proses Pemilu. Berikut ini
beberapa aturan-aturan tersebut yang berlaku di
beberapa negara:
A. Aturan mengenai Pembatasan Keikutsertaan Penca
dalam Pemilu:
Batasan ini biasanya menyangkutkecacatan mental dan
fisik. Yang menyangkut kecacatan mental, di beberapa
negara aturan Pemilunya menyatakan bahwa seseorang
yang dinyatakan tidak waras atau dinyatakan berpikiran
tidak sehat dengan cara lainnya berdasarkan
undang-undang dilarang memilih atau mendaftar sebagai
pemilih. Di Italia, Belanda, Serbia dan Slovakia
secara jelas dinyatakan bahwa mereka yang sudah
kehilangan "kemampuan berusaha", "kemampuan bekerja"
dan "kecakapan" hukum dil;arang memilih dan mendaftar
untuk ikut dalam Pemilu.
Aturan Pemilu yang membatasi keikutsertaan penca
dalam Pemilu yang menyangkut kecacatan fisik biasanya
halangan yang menyangkut kemampuan berbicara. Hal ini
berlaku di Negara-negara Persemakmuran, misalnya
ketentuan : "seseorang dinyatakan memenuhi syarat
untuk dipilih sebagai anggota Dewan Nasional apabila,
dan tidak akan memenuhi syarat untuk dipilih, kecuali
jika dia..dapat berbicara,." Selain kemampuan bicara
juga ada aturan yang menyangkut kemampuan baca dan
tulis, seperti dinyatakan "seorang calon harus dapat
membaca dan menulis", di beberapa negara ketentuan ini
ditambah dengan "kemampuan membaca dan menulis dalam
bahasa nasional". Ketentuan-ketentuan tersebut
ditambah lagi dengan keharusan tidak tuli dan buta.

B. Aturan yang mendorong keikutsertaan Penca dalam
Sistem Pemilu
Aturan dalam sistem Pemilu tidak sepenuhnya
menghalangi keikutsertaan penca untuk berpartisipasi
dalam Pemilu, karena juga ada aturan yang mendorong
penca untuk ikut dalam pemilu, namun lebih untuk
keikutsetaan sebagai pemilih. Hal ini dapat dilihat
dari berbagai aturan sebagai berikut:

Bantuan bagi Pemilih untuk didampingi dalam memberikan
hak suaranya
Di beberapa negara, pemilih yang tidak mampu untuk
memilih sendiri karena kondisinya, diperbolehkan untuk
didampingi orang lain dalam memberikan pilihannnya. Di
Irlandia, misalnya dinyatakan bahwa jika seorang
pemilih adalah buta, ia boleh didampingi dalam
melakukan pemilihan, namun pemilih yang buta hanya
boleh didampingi oleh petugas Tempat Pemungutan Suara
(TPS), apabila ia cacat tubuh, ia boleh didampingi
oleh teman atau petugas TPS. Di beberapa negara,
ketentuan ini ditambah lagi dengan aturan bahwa si
pendamping harus mengambil sumpah atas kebenaran
keadaan ketidakmampuan sipemilih yang didampinginya
itu.

Bantuan memperoleh kemudahan dalam memilih tempat
suara dan format kertas suara dalam Pemilu

Lazimnya, pemilihan suara yang diberikan oleh pemilih
dilakukan di Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang telah
ditentukan. Di bebebrapa negara, pemilih penyandang
cacat diperbolehkan untuk menggunakan alternatif
lain. Di Australia, seandainya seorang pemilih berada
cukup dekat dengan TPS, namun tidak mampu hadir ke
tempat itu karena ketidakmampuan fisik, petugas yang
berwewenang dalam Pemilu membawakan kertas suaranya
atau pemilih dapat memberikan kartu suaranya lewat
kantor pos. Di Afrika Selatan, pemilih yang tidak
dapat datang ke TPS di mana mereka terdaftar, karena
kelemahan fisik dan atau mental, penca atau wanita
hamil dikategorikan sebagai pemilih khusus dan boleh
memberikan hak suaranya pada TPS khusus sehari sebelum
hari Pemilu dilaksanakan. Di Filipina, ada aturan yang
menyatakan bahwa petugas Pemilu harus memperhatikan
tempat pemungutan suara di seluruh wilayah di mana di
sana terdaftar pemilih penca, yaitu di berada di
lantai dasar. Di Srilanka dan Malawi, pemerintah
menyediakan transportasi bagi pemilih penca untuk
menuju dan kembali dari TPS.


Untuk format kertas suara, di Chili, pemerintah
menyediakan sebuah lempengan yang berisi huruf braile
atau kertas timbul bagi pemilih penca netra. Lempengan
tersebut diletakan di atas kertas suara biasa untuk
membantu si pemilih dalam menentukan calon yang
diinginkannya. Di Australia, disediakan Kartu Penunjuk
Pemilihan (How to Vote Card) bagi pemilih penca.
Melalui kartu tersebut, pemilih penca menjelaskan
kepada orang yang mendampinginya bagaimana ia menandai
kertas suara tersebut untuk calon yang dipilihnya.

Partisipasi Penca Indonesia dalam Pemilu
Jumlah penca di Indonesia cukup besar, menurut WHO
(1988) 10 per sen populasi dari setiap negara adalah
penca. Jika saat ini penduduk Indonesia diperkirakan
200 juta orang, maka 10 persen dari itu atau 20 juta
orang adalah penca. Namun, disayangkan jumlah yang
besar ini belum banyak yang menggunakan hak-hak
politiknya dalam pemilu, terutama hak politik untuk
dipilih sebagai anggota parlemen. Hal ini terutama
karena sistem pemilu yang ada saat ini belum
memberikan ruang yang sama kepada penca sebagai mana
warga negara Indonesia lainnya. Misalnya, salah satu
ketentuan yang dimuat dalam UU Pemilu menyebutkan
bahwa untuk dapat dipilih dalam Pemilu seeorang harus
dapat membaca dan menulis huruf latin. Persyaratan ini
jelas menggugurkan keikutsertaan calon penca yang
karena kecacatannya hanya mampu membaca dan menulis
dalm huruf Braile, belum lagi ketentuan-ketentuan lain
yang secara langsung atau tidak langsung menghalangi
keikutsertaan penca untuk dapat dipilih dalam Pemilu.
Untuk memberikan tempat kepada wakil penca di
Parlemen, dalam Pemilu 1999 yang lalu ditetapkan 2
orang penca dalm Utusan Golongan di MPR. Akan tetapi
kemudian timbul pertanyaan, siapa yang seharusnya
mengusulkan mereka untuk duduk di tempat terhormat
tersebut, karena begitu banyak organisasi kecacatan,
baik ormas maupun orsosnya, apakah mereka cukup
representative untuk mewakili beragam jenis kecacatan
mapun kompetensinya untuk menyuarakan aspirasi kaum
penca?
Pada sisi lain, jumlah penca yang besar ternyata cuma
dimanfaatkan oleh partai-partai politik yang ada untuk
mendapatkan suara darinya, misalnya, menjelang
Pemilu, partai-partai politik berlomba-lomba
memberikan santunan atau sumbangan untuk menarik
mereka. Padahal, yang diinginkan penca sebenarnya
bukan santunan yang sifatnya sementara, melainkan
suatu jaminan dari negara untuk mendapatkan pelayanan
dasar sebagai mana warga negara lainnya dan pelayanan
yang bersifat khusus berkenaan dengan kecacatannya.
Untuk memperbaiki partisipasi penca dalam pemilu,
barangkali penca sendiri perlu meningkatan
kesadarannya dalam berpolitik, termasuk untuk
menghimbau pihak-pihak yang berwewenang dalam proses
Pemilu memperbaiki sistem Pemilu yang ada.

Oleh Dra. Eva Rahmi Kasim, MDS

PEGAWAI PEMERINTAH MEMEGANG PERANAN PENTING DALAM KEBERHASILAN PROGRAM PENINGKATAN KUALITAS HIDUP PENYANDANG CACAT

Anggota redaksi Info Societa, Dra. Eva Rahmi Kasim,
MDS, bersama DR. Yasin Siswanto, Asisten Deputi Bidang
Keamanan Sosial Kementerian Koordinator Bidang
Kesejahteran Rakyat, pada tanggal 23 sampai dengan 30
Maret yang lalu mendapat kesempatan untuk berkunjung
ke Bangkok, Thailand, mengikuti International
Workshop on Raising Disability Awareness of Public
Administration Personnel to Promote Disabled Person's
Inclusion in Development Process. Keikutsertaan
keduanya mewakili Indonesia dan keberangkatannya
disponsori oleh Colombo Plan dan UN-ESCAP (Komisi
Ekonomi dan Sosial PBB untuk Asia dan Pasifik),
sebagai penyelenggaraan workshop yang pertama kalinya
diadakan bagi pegawai pemerintahan di kawasan Asia dan
Pasifik.

Colombo Plan adalah forum kerjasama negara Selatan
-selatan yang mempunyai kegiatan utama pada
pengembangan sumber daya manusia negara anggotanya
dalam rangka peningkatan pembangunan sosial dan
ekonomi. Saat ini negara yang tergabung dalam Colombo
Plan adalah: Afganistan, Australia, Bangladesh,
Buthan, Kamboja, Fiji, Indonesia, India, Jepang,
Korea, Laos, Malaysia, Maldev, Myanmar, New Zealand,
Pakistan, Papua Nugini, Philipina, Singapura,
Srilanka, Thailand, Vietnam dan Amerika Serikat.
Sedangkan UN-ESCAP adalah Komisi Ekonomi dan Sosial
Perserikatan Bangsa-bangsa untuk Asia dan Pasifik.

Workshop diikuti oleh 20 peserta dari 14 negara itu
membahas beberapa pokok bahasan penting, yaitu
internasional mandats tentang kecacatan;
kecacatan,kemiskinan dan pembangunan; lingkungan yang
bersahabat bagi penyandang cacat; sebab dan pencegahan
kecacatan; kesehatan, pendidikan dan ketenagakerjaan;
dan mobilisasi sosial bagi peningkatan kualitas hidup
penyandang cacat. Workshop disampaikan dalam berbagai
format, antara lain diskusi kelompok, kunjungan
lapangan ke daerah kumuh Klong Toey di kota Bangkok,
latihan simulasi pengalaman kecacatan, panel diskusi,
presentasi dan pengembangan rencana aksi perorangan
dan kelompok. Berdasarkan hasil diskusi dan pemaparan
para peserta diketahui bahwa beberapa negara sudah
mengintegrasikan dan mengarusutamakan dimensi
kecacatan dalam program pembangunan yang didasarkan
atas prinsip-rinsip hak-hak penyandang cacat, namun
pelaksanaannya masih dihadapi pada berbagai kendala,
misalnya anggapan bahwa masalah penyandang cacat
semata-mata tugas dari kementerian sosial sehingga
sektor-sektor lain merasa tidak berkewajiban untuk
menanganinya, selain itu juga kurangnya dukungan
dansensitivitas dikalangan para pembuat kebutusan
terhadap masalah ini yang berakibat masalah
penyandang cacat dinomor duakan, termasuk dalam
pengalokasian dana pembangunan.

Deputy Executive Secretary UN ESCAP, Ms. Keiko Okaido,
mewakili Direktur UN-ESCAP, dalam pembukaan workshop
tersebut mengatakan bahwa selama lebih dari satu
dasawarsa, ESCAP menjadikan masalah kecacatan sebagai
salah satu prioritas program kerjanya, antara lain
dengan menetapkan tahun 1993-2002 sebagai Dekade
Penyandang Cacat Asia Pasifik beserta Agenda For
Action untuk mengisi dasawarsa itu. Hasilnya, selama
itu pula telah terjadi perbaikan dalam upaya
peningkatan kualitas hidup penyandang cacat, terutama
semakin banyaknya negara anggota yang memiliki
undang-undang penyandang cacat dan memiliki mekanisme
koordinasi nasional dalam program kecacatan. Dari
evaluasi yang dilakukan UN-ESCAP, diakuinya pula bahwa
masih banyak pula program-program kecacatan yang belum
berhasil, termasuk pula dalam pelibatan penyandang
cacat dalam pembangunan. Untuk itulah, maka UN-ESCAP
kembali memberi perhatian utama pada masalah ini
dengan menetapkan Dekade II Penyandang Cacat Asia
Pasifik 2003-2012 dan menghimbau negara-negara
anggotanya untuk melaksanakan program-program
kecacatan selama kurun waktu tersebut. Program ini
dituangkan dalam rencana aksi yang disebut Kerangka
Kerja Biwako Milenium yang dilahirkan pada pertemuan
pejabat pemerintahan anggota ESCAP di Otshu, Jepang
dan disetujui oleh para pejabat yang mewakili
negara-negara ESCAP. Kerangka Kerja Biwako Milenium
menetapkan 7 program prioritas yang harus menjadi
perhatian, yaitu: 1. Self-Help Organisasi Penyandang
Cacat dan Perkumpulan Orang Tua Penyandang Cacat, 2.
Wanita Penyandang Cacat, 3. Pencegahan, deteksi dan
intervensi dini kecacatan serta Pendidikan, 4.
Pelatihan dan penempatan kerja, 5. Akses terhadap
lingkungan dan transportasi umum, 6. Akses terhadap
informasi dan komunikasi serta 7. Pengentasan
kemiskinan melalui peningkatan kemampuan perlindungan
sosial dan kelangsungan hidup. Menurut Deputy
Executive Secretary UN-ESCAP, keberhasilan dalam
pencapaian pelaksanaan program kerja Biwako Milenium
ini di masing-masing negara sangat ditentukan oleh
para pegawai pemerintahan yang merupakan para pembuat
dan pelaksana kebijakan.

Sementara itu, Direktur Program Administrasi
Pemerintahan, Colombo Plan, Tomikazu Inagaki,
mengatakan bahwa sejak tahun 2002, Colombo Plan telah
melakukan peningkatan aktivitas dan diversifikasi
program termasuk pula berkoloborasi dengan berbagai
organisasi internasional dalam penyelenggaraan
pelatihan dan pendidikan bagi pegawai pemerintahan.
Hal ini bertujuan untuk pelaksanaan projects di bidang
perumusan kebijaksanaan ekonomi makro dan manajement
yang memperhatikan aspek-aspek pembangunan yang
berkelanjutan, masalah lingkungan, penghapusan
kemiskinan, good governance , pemanfaatan Informasi
dan Teknologi dalam administrasi, kerjasama eknomi
internasional dan sebaginya.

Mengunjungi Klong Toey, daerah kumuh kota Bangkok

Klong Toey adalah daerah kawasan paling kumuh di kota
Bangkok, kontras dengan gedung-gedung pencakar langit,
pusat perbelanjaan dan hotel-hotel mewah disekitarnya.
Daerah ini didiami oleh lebih dari 1000 komunitas
miskin. Mereka yang tinggal di area tersebut umumnya
bekerja di sektor informal, seperti pemulung, pekerja
pelabuhan, pembantu rumah tangga, pedagang kaki lima
dan juga pengangguran yang datang dari daerah pedesaan
di sekitar kota Bangkok. Para peserta workshop
mengunjungi daerah ini untuk melihat sendiri
permasalahan sosial yang ada di daerah itu dan
sekembalinya dari kunjungan tersebut mendiskusikan
kenyataan yang dilihat di lapangan dan kemudian
membuat rencana kerja untuk mengatasi persoalan
semacam itu, khususnya yang berkaitan dengan
permasalahan penyandang cacat dan keluarganya yang
berdiami daerah miskin perkotaan.

Para peserta juga melakukan diskusi dengan para
aktivist penyandang cacat lokal dan sebuah lembaga
organisasi masyarakat setempat yang sejak tahun 1978
terus menerus melakukan perbaikan kehidupan warga
daerah kumuh ini dari berbagai aspek. Lembaga
organisasi masyarakat itu bernama Duang Prateep
Foundation dan didirikan oleh warga daerah kumuh itu
dan merekruit pekerja sosial masyarakat yang berasal
darikalangan penduduk miskin itu sendiri.

Latihan Simulasi Kecacatan
Latihan Simulasi Kecacatan merupakan salah satu
program workshop yang paling berkesan bagi peserta.
Dalam program ini, para peserta yang umumnya bukan
penyandang cacat itu selama setengah hari menjalani
pelatihan seakan-akan mereka adalah para penyandang
cacat. Peserta yang seolah-olah pengguna kursi roda,
pemakai tongkat putih dan lansia yang rapuh ,
mendatangi tempat-tempat keramaian seperti pasar dan
jalan-jalan umum. Mereka merasakan bagaimana susahnya
menjadi penyandang cacat, baik dalam menghadapi
lingkungan fisik seperti trotoar, dan bangunan yang
tidak bersahabat dengan kondisi kecacatan, juga
pandangan dan sikap orang-orang sekitar yang melihat
aneh pada kondisi mereka.

DR Yasin Siswanto dalam simulasi itu berperan
sebagai pengguna kursi roda mengungkapkan
pengalamannya bahwa ternyata tidak mudah menggunakan
kursi roda, "diperlukan banyak energi untuk mendorong
sendiri kursi roda , lebih dari apa yang saya
perkirakan sebelumnya". Hal senada juga dikemukakan
oleh Muhammad Madjid dari Pakistan yang dinegerinya
adalah seorang direktur untuk urusan pendidikan khusus
( di Indonesia pendidikan luar biasa). Ia yang
berperan sebagai orang lanjut usia yang bermasalah
dengan fungsi-fungsi tubuh seperti penglihatan yang
kabur, tungkai yang lemah dan kaku, mengaku selama
setengah hari menjalani pelatihan ia merasa seluruh
tubuh menjadi lemas tanpa daya dan membutuhkan bantuan
orang lain," apalagi bila hal itu benar-benar
terjadi".

Ya, kebanyakan orang tidak akan pernah mengerti
seperti apa dan bagaimana masalah penyandang cacat,
kecuali bila pernah merasakannya. Itulah ide
dibelakang penyelenggaraan latihan simulasi ini untuk
menimbulkan rasa sensitivitas mereka terhadap isu
kecacatan. (eva)


Laporan dari International Workshop
on Raising Disability Awareness of Public
Administration Personnel
to Promote Disabled Person's Inclusion in Development
Process,
Bangkok, 24 s/d 29 Maret 2003

MASALAH PENYANDANG CACAT DAN ASPEK BUDAYA

Lebih dari dua dasawarsa yang lalu terjadi perubahan
penting dalam paradigma penanganan penyandang cacat
yang dipelopori terutama oleh para penyandang cacat
itu sendiri. Perubahan itu adalah pergeseran dari
memandang kecacatan sebagai akibat kerusakan atau
kelainan anatomi atau kelainan fungsi fisik atau
mental seseorang yang menyebabkannya tidak dapat
melakukan aktivitas secara 'normal', menjadi sikap
penerimaaan masyarakat terhadap seseorang yang
mengalami kelainan atau kerusakan fungsi fisik atau
mental (diskriminasi dan stigmasi). Atau yang sering
disebut sebagai perubahan pendekatan dari yang
bersifat medis kepada pendekatan sosial, dari
penanganan masalah individual kepada penanganan yang
bersifat struktural.

Sejak lebih dari duawarsa pula, masalah penyandang
cacat juga menjadi issu international penting yang
menjadi perhatian masyarakat dunia. Hal ini dapat
dilihat dari berbagai mandat dan instrument
internasional yang dikeluarkan oleh Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) dan badan internasional lainnya
yang menyebut dimensi kecacatan. Keprihatinan atas
kondisi kehidupan para penyandang cacat di berbagai
belahan dunia yang jauh tertinggal dalam berbagai
aspek kehidupan, mendorong timbulnya komitment
internasional untuk memberi perhatian bagi kelompok
masyarakat yang terpinggirkan ini.

Tahun 1981, ditetapkan oleh PBB sebagai Tahun
Internasional Penyandang Cacat. Hal ini dimaksudkan
agar masyarakat dunia di tahun tersebut mulai
memberikan perhatian bagi perbaikan kualitas hidup
penyandang cacat yang didasarkan pada prinsip
persamaan kesempatan dan partisipasi penuh dalam
berbagai aspek kehidupan. Untuk mempertegas komitment
tersebut, setahun kemudian, yaitu tahun 1982 PBB dalam
sidang Majelis Umum mengeluarkan Resolusi No. 37/52
tentang Program Aksi Dunia bagi Penyandang Cacat.
Resolusi ini berisi pedoman bagi para pemerintahan
untuk membuat kebijakan , rencana dan monitoring
program-program bagi perbaikan kualitas hidup
penyandang cacat. Dan untuk melaksanakan resolusi ini,
PBB menetapkan tahun 1983 - 1992 sebagai Dasawarsa
Internasional Penyandang Cacat. Diharapkan dalam kurun
waktu itu terjadi perbaikan kehiupan penyandang cacat.
Diakhir Dasawarsa Internasional di tahun 1993, PBB
mengeluarkan Peraturan Standarisasi bagi Persamaan
Kesempatan Penyandang Cacat dalam berbagai aspek.

Sepuluh tahun kemudian, semakin banyak negara yang
memberi perhatian pada program-program kecacatan,
namun perbaikan kehidupan penyandang cacat yang nyata
terjadi begitu lambat, hal ini terutama terjadi di
kawasan Asia dan Pasifik. Untuk itu, Komisi PBB di
bidang Ekonomi dan Sosial untuk Asia dan Pasifik
(UN-ESCAP) memandang perlu memperpanjang Dasawarsa
Internasional Penyandang Cacat untuk Asia dan Pasifik
satu dasawarsa lagi. Selain itu, ESCAP juga
mengeluarkan pedoman yang berisi 12 bidang utama yang
menjadi keprihatinan untuk dilaksanakan selama kurun
waktu 1993-2002. Hasilnya, satu dasawarsa
internasional dan satu dasawarsa Asia dan Pasifik
memang membawa perubahan pada kepedulian terhadap
penyandang cacat di berbagai belahan dunia, hal ini
terutama di bidang peraturan perundang-undangan, yaitu
dapat dilihat dari semakin banyaknya pemerintahan yang
memiliki undang-undang penyandang cacat dan berbagai
peraturan yang didasarkan pada prinsip persamaan
kesempatan dan partisipasi penyandang cacat dalam
berbagai aspek kehidupan. Bahkan, di beberapa negara
juga dibentuk komisi pemantau pelaksanaan
undang-undang tersebut.

Hal ini dapat diartikan juga sebagai suatu pengakuan
perlunya kerangka hukum dalam mengatasi masalah
penyandang cacat. Namun begitu, dalam kenyataan ,
tidak terjadi berubahan yang signifikan pada
perbaikan kualitas kehidupan para penyandang cacat.
Mereka tetap tersisih dari berbagai kemajuan, tetap
mengalami berbagai hambatan dalam mengakses pelayanan
dan fasilitas sosial pokok, seperti pendidikan,
kesehatan, lapangan kerja.

Suatu pertanyaan yang menggelitik bagi saya, mengapa
implementasi program-program penyandang cacat yang
sudah menjadi agenda internasional ini tidak membawa
perubahan yang signifikan bagi penyandang cacat,
terutama di kawasan Asia dan Pasifik dibanding dengan
apa yang terjadi di negara-negara barat seperti
Amerika dan Eropa?. Padahal hampir semua negara di
kawasan ini sudah memiliki undang-undang penyandang
cacat dan peraturan pelaksananya, namun sepertinya
perundang-undangan beserta peraturan pelaksana yang
telah dibuat itu tidak lebih sebagai retorika belaka.


Kita sering mendengar dan mungkin juga melihat dan
mengalami bagaimana negara-negara barat mengakomodasi
kebutuhan penyandang cacat, seperti penyediaan
aksesibilitas fisik semacam ramp pada fasilitas
publik, transportasi maupun bangunan. Juga membuka
akses di bidang ketenagakerjaan , pendidikan dan
berbagai aspek lainnya bagi warga yang menyandang
cacat.

Apa yang dapat kita lakukan untuk memperbaiki hal ini.
Haruskah kita melakukan demonstrasi di jalan maupun
parlemen untuk menuntut pelaksanaan persamaan hak yang
telah diundangkan bilamana pemerintah tidak
menyediakan fasilitas pelayanan sebagaimana yang
diamanatkan undang-undang?

Dalam menjawab tantangan ini, saya melihat beberapa
hal yang harus kita cermati , yaitu: 1. Karekteristik
Penyandang Cacat di Asia. 2. Aspek budaya masyarakat
Asia dan penerimaan mereka terhadap kecacatan.

1. Karekteristik Penyandang Cacat Asia
Populasi Penyandang cacat Asia adalah 2/3 dari
penyandang cacat dunia. Mereka tersebar di lebih 36
negara yang disebut Asia, yang umumnya adalah
negara-negara dengan ekonomi yang sedang berkembang.
Menurut laporan ESCAP, penyandang cacat di kawasan ini
umumnya hidup dalam keadaan paling miskin dan hidup di
lingkungan yang tidak memenuhi syarat kesehatan di
banding dengan warga masyarakat lainnya. Hal ini dapat
dipahami karena sebagian besar masyarakat Asia
bermukim di wilayah pedesaan dan miskin. Masyarakat
pedesaan jarang tersentuh pelayanan modern . Pelayanan
rehabilitasi modern bagi penyandang cacat di banyak
negara Asia, baru dimulai setelah perang dunia II. Itu
pun khusus ditujukan bagi korban perang. Umumnya
pusat-pusat rehabilitasi berada di perkotaan atau
pinggiran kota. Dengan gambaran kondisi penyandang
cacat dan sejarah pelayanan yang demikian, dapat
dibayangkan banyak penyandang cacat yang tidak
tersentuh pelayanan rehabilitasi, juga dapat
dipastikan mereka tidak pernah berpikir tentang
persamaan kesempatan dan partisipasi dalam berbagai
aspek kehidupan.

2. Budaya dan Sikap Penerimaan Masyarakat Asia
terhadap Penyandang Cacat.

Keberadaan penyandang cacat di kalangan masyarakat
Asia, sudah ada sepanjang sejarah bangsa -bangsa di
Asia. Seperti komunitas lainnya, bangsa Asia juga
memiliki cara pandang dan dan sikap terhadap
penyandang cacat yang merupakan refleksi dari budaya
mereka. Pemahaman konsep persamaan kesempatan dan
partisipasi penyandang cacat dalam perspektif budaya
Barat barangkali bisa berbeda dengan perspektif budaya
masyarakat Asia.
Kita tidak dapat pungkiri bahwa dalam komunitas
internasional, peran budaya Barat begitu dominan. Maka
tidak mengherankan bila dokumen/instrumen
internasional yang dikeluarkan juga kental nuansa
cara pandang budaya Barat. Akibatnya, ketika instrumen
tersebut diterapkan dalam perspektif budaya yang
berbeda menjadi tidak matching .
Misalnya, dalam masyarakat Barat, seseorang
digambarkan bebas dari konteks atau idependent.
Konteks di sini dimaksudkan adalah kondisi sosial dan
budaya di sekitarnya yang mempengaruhi kehidupan
seseorang, kelompoknya atau komunitas masyarakat
secara keseluruhan. Dalam budaya Barat, sesorang
dianggap memiliki otonomi atas dirinya, yang memiliki
kontrol atas dirinya sendiri dan pilihannya. Perilaku
diinterpretasikan melalui pemikiran atau perasaan dan
tindakan individual daripada keelompok. Misalnya
penganutan pada nilai-nilai kemandirian,
keterusterangan dan atribut-atribut yang bersifat
personnal. Mereka juga meyakini bahwa hanya
orang-orang yang memiliki kemampuan fisik dan mental
yang dapat berpartisipasi dan persamaan di dalam arus
kehidupan sehingga design pengorganisasian masyarakat
dan lingkungan adalah refleksi dari pemahaman ini.

Hal yang sebaliknya pada budaya Asia, pada masyarakat
Asia sesorang dinilai atau terkait dengan konteks atau
lebih pada lingkungannya. Misalnya, penganutan pada
nilai-nilai kekeluargaan, tanggungjawab kelompok atau
keluarga, penjenjangan dalam memikul tanggung jawab
(biasanya tertuju pada anggota yang tertua/senior),
penghormatan pada senioritas dan menjaga perasaan
orang lain serta kesetiaan pada kelompok. Nilai-nilai
untuk menentukan sendiri keputusan tidak begitu
dikenal pada masyarakat ini. Kepentingan individu
menjadi nomor dua setelah kepentingan kelompok.
Seseorang bisa jadi memendam keinginannya untuk
menghindari konflik dan menjaga keselarasan kelompok
ketimbang mendapat tekanan daripada kelompok.

Sebagai refleksi dari budaya yang demikian, seorang
penyandang cacat Asia bisa jadi tersosialisasi bahwa
kelompok (keluarga) akan memenuhi segala kebutuhannya,
karena mereka berkewajiban memelihara anggotanya. Hal
ini mungkin menyebabkan kurangnya kesadaran individual
pada kewajiban non-personnal kelompok di dalam
masyarakat. Dikalangan masyarakat Asia, seseorang
sejak masa kanak-kanak sudah tersosialisasi untuk
'menerima' apa yang disediakan tanpa mengeluh dan ini
juga mungkin yang menyebabkan seorang penyandang cacat
di kebanyakan negara Asia enggan mengungkapkan
keinginannya atau tidak berani mengungkapkan
kebutuhannya secara terus terang untuk menghindari
konflik atau tekanan dari warga lainnya.

Pemahaman ajaran agama dan nilai-nilai kepercayaan di
kalangan masyarakat Asia juga memegang peranan penting
dalam perbaikan kualitas hidup penyandang cacat.
Setiap agama dan kepercayaan memiliki ajaran yang
menggambarkan sikap terhadap penyandang cacat dan
sepintas terkesan seperti bersifat 'mendua', pada satu
sisi melukiskan kepasrahan total pada keadaan dan pada
sisi lain menggambarkan semangat atau memberikan
motivasi, sayangnya sikap yang pertamalah yang lebih
menonjol, karena pentafsiran yang sempit dari ajaran
tersebut. Misalnya, dikalangan ummat Islam (salah satu
agama yang paling banyak dianut di Asia) dipercayai
adanya takdir. Sesungguhnya takdir bisa
diinterpretasikan sebagai sesuatu yang bersifat baik
dan buruk, sesuatu yang bisa diubah. Tetapi kebanyakan
muslim terbiasa diajarkan untuk menerima kondisi
kehidupannya sebagai suatu takdir yang tidak bisa
berubah. Misalnya, seorang keluarga yang memiliki anak
cacat, pasrah dengan keadaan tersebut tanpa berusaha
untuk melakukan intervensi dini terhadap kecacatan
itu. Padahal, kalau intervensi dini dilakukan
permasalahan kecacatannya dapat diminimalisasi dan
anak dapat disiapkan untuk menyesuaikan kecacatannya
dengan kehidupan yang akan dijalani selanjutnya.

Pemahaman yang salah atau pentafsiran yang sempit
terhadap ajaran agama lainnya , misalnya, umumnya
agama mengajarkan pengikutnya untuk bersabar dalam
penderitaan karena surga adalah balasannya.
Hal ini dipahami bahwa memiliki kecacatan atau anggota
keluarga penyandang cacat sebagai suatu ujian untuk
tahan menderita, tidak mengeluh dan menerima kondisi
tersebut apa adanya tanpa berusaha untuk melakukan
perubahan apapun , misalnya melalui upaya rehabilitasi
. Kepercayaan masyarakat setempat terhadap kecacatan
juga mempengaruhi sikap terhadap penyandang cacat,
misalnya, kecacatan masih dianggap sebagai sesuatu aib
dan memalukan, sehingga anggota penyandang cacat harus
disembunyikan dari penglihatan warga lainnya.

Di banyak negara yang ekonominya maju, terdapat
kewajiban pemerintah untuk memberikan jaminan dan
asuransi sosial (social security dan social insurance)
bagi warga negaranya, terutama kaum penyandang cacat ,
lanjut usia dan miskin. Di kebanyakan negara Asia, hal
semacam ini belum tersentuh dan masih bergantung pada
upaya yang bersifat belas kasihan dari warga lainnya,
terutama dari orgabisasi sosial dan keagamaan. Dan
sayangnya, ini pun belum terorganisir dengan baik,
baik dalam pemungutannya maupun penyalurannya.
Misalnya, dalam agama Islam ada kewajiban pengikutnya
untuk membayar zakat. Dengan berzakat diajarkan bahwa
harta yang kini miliki adalah juga kepunyaan Allah,
dan setiap muslim wajib berbagi kepemilikannya itu
kepada kaum yang memerlukan.

Cara pandang dan sikap terhadap penyandang cacat
seperti yang disebutkan di atas juga berpengaruh
terhadap terhadap sikap atau perlakuan yang dianggap
"baik" atau" buruk" bagi penyandang cacat dalam suatu
komunitas masyarakat. Bisa jadi apa yang dianggap
"baik" dari sudut pandang masyarakat berbudaya Asia ,
bagi orang Barat "tidak baik" . Akan tetapi hal ini
tidak berarti bahwa persamaan persepsi dalam memandang
kecacatan tidak dapat dilakukan. Pada dasarnya budaya
adalah suatu interaksi yang dinamis dari berbagai
faktor. Untuk mencapai suatu masyarakat yang dapat
mengakomodasikan kebutuhan penyandang cacat yang
didasarkan pada prinsip persamaan dan partisipasi ,
perbedaan-perbedaan ini perlu diperhatikan dalam
implementasi program yang bersifat internasional di
negara-negara yang berlatar belakang budaya non-Barat.
Untuk itu, penyampaian informasi yang benar tentang
kecacatan perlu ditujukan pada semua tingkatan
masyarakat baik individual maupun kelompok dengan
memanfaatkan semua potensi yang ada di kalangan
masyarakat itu sendiri. misalnya, melalui si
penyandang cacat, keluarga, pemuka keagamaan, pemuka
masyarakat formal, para profesional. Organisasi
Penyandang Cacat barangkali bisa memprakasai pelatihan
sensitivitas budaya pada setiap pelatihan kecacatan
dan program-program yang dilakukan pemerintah
hendaknya juga program kecacatan yang peka terhadap
budaya lokal (cultural sensitivity programs). Dengan
cara itu akan timbul persamaan persepsi dan sikap yang
mendukung ke arah perbaikan kualitas hidup penyandang
cacat.

Hal lain yang perlu menjadi perhatian adalah penguatan
organisasi mandiri penyandang cacat (self-help group)
pada tingkat akar rumput dan mereka yang bermukim di
daerah pedesaan dan terpencil. Harus diakui, kita
selalu terfokus pada organisasi kecacatan pada tingkat
nasional, dan melupakan mereka yang berada pada
tingkat akar rumput. Padahal, pemberdayaan penyandang
cacat yang paling efektif dimulai dari organisasi
self-help group pada tingkat akar rumput

Oleh :Dra. Eva Rahmi Kasim,MDS

(Disarikan dari makalah yang disampaikan pada
Konggress Dunia ke-6
Organisasi Penyandang Cacat Dunia (DPI) di
Saporo,Jepang ,Oktober 2002)

Wednesday, December 08, 2004

TINJAU KEMBALI REHABILITASI PENYANDANG CACAT

Bulan Juni lalu di Oslo ibukota Norwegia, berlangsung
Kongres Dunia Rehabilitasi Internasional yang ke-20.
Kongress yang diikuti oleh lebih dari seribu orang
peserta dari 76 negara di seluruh dunia membahas
pelaksanaan rehabilitasi penyandang cacat dengan fokus
pada 3 perspektif, dalam proses rehabilitasi.

Suasana musim panas (summer) ketika itu tidak begitu
terasa , karena hampir setiap hari hujan turun dengan
suhu berkisar 9 hingga 18 derajat celcius. "Kami biasa
menghadapi musim seperti ini dan kami menyebutnya
'Green Winter'", kata seorang peserta tuan rumah.
Cukup dingin memang, khususnya bagi pendatang yang
berasal dari daerah tropis. Tetapi dinginnya cuaca
tidak mengurangi semangat dan antusiasme peserta untuk
mengikuti konggress dunia organisasi Rehabilitation
International yang digelar setiap empat tahun sekali
yang pada tahun ini merupakan konggress dunia ke-20
sejak organisasi ini berdiri tahun 1922.

Pada pertemuan tersebut dibahas antara lain upaya
peningkatan kualitas hidup penyandang cacat dalam
berbagai aspek kehidupan ditinjau dari 3 pilar utama
dalam proses rehabilitasi, yaitu perspektif user
(penyandang cacat), perspektif hak asasi manusia/
warga serta perspektif multikultural. Dari pertemuan
yang berlangsung selama hampir lima hari tersebut,
dapat disimpulkan adanya pengakuan terjadinya
kesenjangan dalam proses rehabilitasi penyandang cacat
selama ini dan peningkatan kesadaran akan pentingnya
partisipasi dan pelibatan penyandang cacat serta
pengaruh mereka dalam proses rehabilitasi. Selain itu
juga pentingnya perhatian terhadap hak-hak asasi
penyandang cacat sebagai manusia dan sebagai warga
negara yang mengakselerasi sistem rehabilitasi di
seluruh dunia. Ditambahkan pula , meskipun penanganan
masalah rehabilitasi penyandang cacat sudah
mengglobal, namun tidak mudah untuk membuat kebijakan
dan melaksanakannya di tingkat lokal, karena
masyarakat berbeda satu tempat dengan tempat lainnya .
Oleh sebab itu diperlukan perumusan kebijakan dan
praktek untuk mengatasi masalah tersebut berdasarkan
pendekatan multikultural.

Konggress dibuka secara resmi oleh Menteri Sosial dan
Tenaga Kerja Norwegia, Dagfinn Hoybraten yang
menduduki jabatan tersebut 3 hari sebelum konggress
berlangsung (sebelumnya ia menduduki posisi Menteri
Kesehatan). Dalam sambutannya, Dagfinn mengungkapkan
bahwa pelaksanaan rehabilitasi selama ini ini sering
digambarkan sebagai bentuk dominannya para profesional
serta pengeekslusifan dan tersegregasinya (di
pusat-pusat rehabilitasi) penyandang cacat dari
mainstream masyarakat. Pemahaman rehabilitasi yang
dianggap sebagai upaya pemulihan fungsi fisik atau
mental sebagai akibat kerusakan atau kehilangan fungsi
yang disebabkan oleh sakit (penyakit), rehabilitasi
dilaksanakan agar dapat melakuan aktivitas sebagaimana
yang "normal" dengan memperbaiki kerusakan atau
kehilangan fungsi tersebut, untuk saat ini pemahaman
itu tidak dapat menjawab persoalan penyandang cacat.
"Masalahnya, bukan kerusakan atau kehilangan fungsi
tubuh atau mental yang menghalangi penyandang cacat
untuk berpartisipasi, tetapi cara pengorganisasian
masyarakat ",

Sejak tahun 1999, Norwegia, melalui White Paper on
Rehabilitation menyatakan rehabilitasi sebagai suatu
proses yang direncanakan dengan sebaik-baiknya tujuan
serta perangkatnya dengan beberapa unsur pekerja
(profesional) untuk membantu usaha yang dilakukan
penyandang cacat untuk mencapai kemungkinan yang
sebaik-baiknya dalam melakuan fungsi dan mengatasi
persoalannya, serta kemandirian dan berpartisipasi
secara sosial dan di masyarakat. Diungkapkannya,
negaranya saat ini tengah berupaya memperjuangkan
suatu masyarakat yang inklusif. Dicontohkannya
beberapa upaya yang dilakukan di negara Skandinavia
tersebut, antara lain dengan mencipatakan aksess yang
lebih baik bagi penyandang cacat, termasuk dalam
mendapatkan alat bantu (assistive devices) dan dalam
lapangan pekerjaan, juga dalam memajukan pendidikan
terpadu bagi anak-anak yang menyandang cacat. Ia juga
menyatakan bahwa negaranya termasuk dari beberapa
negara yang aktif dalam menegakan hak-hak asasi
manusia di seluruh dunia melalui team kerjasama
internasionalnya.

Rethinking Rehabilitation
Konsep dan pelaksanaan rehabilitasi penyandang cacat
merupakan salah satu pokok bahasan penting pada
konggres yang bertemakan Rethinking Rehabilitation
tersebut. Di banyak negara, konsep dan pelaksanaan
rehabilitasi penyandang cacat berakar dari suatu
pendekatan medis dan individual. Menurut pendekatan
ini,keberfungsian secara fisik dan mental seseorang
merupakan prasyarat baginya untuk dapat menentukan
kehendaknya dan berpartisipasi dalam berbagai
aktivitas, karenanya upaya perbaikan fungsi fisik dan
mental tersebut menjadi fokus dalam proses
rehabilitasi. Padahal kenyataannya tidaklah demikian.
Hal ini tidak untuk mengatakan bahwa berbagai bentuk
terapi tidaklah penting, namun cara ini juga
direfleksikan dalam kehidupan sosial yang menyebabkan
terhambatnya para penyandang cacat mendapatkan
kesempatan berpartisipasi secara sama dalam berbagai
aktivitas dalam kehidupan masyarakat. Misalnya, ketika
seorang pemakai kursi roda tidak bisa menaiki bus, hal
ini bukan disebabkan oleh karena kakinya yang tidak
berfungsi sehingga harus menggunakan kursi roda
tersebut, tetapi buslah yang tidak aksessible. Dengan
kata lain, rehabilitasi tidak cuma untuk memperbaiki
kerusakan atau ketidaknormalan fungsi fisik atau
mental seseorang, tetapi juga berkaitan dengan faktor
di luar individu tersebut, seperti sikap masyarakat di
sekitarnya dan kondisi lingkungan.

Kritikan terhadap penanganan masalah penyandang cacat
tersebut sesungguhnya sudah direspon Organisasi
Kesehatan Sedunia (WHO) dan para profesional yang
bekerja di bidang rehabilitasi. WHO, misalnya, sejak
tahun 2001 sudah merevisi definisi penyandang cacat.
(Perlu diketahui bahwa definisi WHO tentang penyandang
cacat menjadi acuan banyak negara tentang penyandang
cacat). Sebelum tahun tersebut, WHO mengeluarkan
pedoman yang disebut International Classification of
Impairment, Disability and Handicap. Ada 3 konsep yang
dibedakan, yaitu: Impairment, adalah hilangnya atau
ketidaknormalan struktur atau fungsi psikologis, fisik
atau anatomi. Sedangkan disability mengacu kepada
keterbatasan kemampuan untuk melakukan aktivitas
secara "normal" yang disebabkan oleh impairment .
Disability digambarkan sebagai gangguan fungsional
yang dialami sesorang. Adapun handicap, merupakan
ketidakberuntungan sesorang yang diakibatkan oleh
impairment dan disability yang menyebabkan ia tidak
dapat melakukan perannya secara sosial maupun ekonomi
(tergantung pada konteks usia, kelamin, sosial dan
budaya).

WHO merevisi konsep ini dengan sebutan International
Classification of Functioning Disability and Health
(ICF). Pada konsep yang baru ini, imparment bukanlah
satu-satunya faktor yang menjadi fokus dalam menilai
keberfungsian kemampuan seseorang. Ada 2 komponen
utama yang perlu dipelajari dalam memahami masalah
penyandang cacat. Yaitu: Functioning (keberfungsian)
dan Disability (ketidakmampuan). Bagian pertama
meliputi keberfungsian badan/anatomi dan struktur
serta aktivitas dan partisipasi. Sedangkan bagian
kedua terdiri dari Faktor-faktor kontekstual, seperti
faktor lingkungan dan faktor -faktor yang sifatnya
peersonal. Menurut konsep ini, masalah penyandang
cacat timbul sebagai interaksi dari berbagai
komponen-komponen tersebut.

Dari pemahaman tersebut diyakini bahwa kegiatan
rehabilitasi penyandang cacat seharunya tidak identik
dengan institusionalised penyandang cacat . Bukan juga
beberapa bentuk pelayanan khusus karena pelayanan
khusus itu tidak dapat dikatakan sebagai rehabilitasi.
Yang pasti, rehabilitasi adalah apapun yang dilakukan
untuk membantu usaha penyandang cacat mencapai
tujuannya menjadi anggota masyarakat yang berfungsi
penuh dalam masyarakatnya, dan hal ini harus dilakukan
secara menyeluruh dan terpadu.
Tentang Organisasi Rehabilitasi Internasional
Rehabilitation International adalah suatu organisasi
federasi internasional yang merupakan jejaring dunia
mencakup para penyandang cacat, pemberi
pelayanan/profesional di bidang rehabilitasi serta
organisasi pemerintahan dan badan-badan internasional
yang bekerjasama untuk meningkatkan kualitas hidup
penyandang cacat dan keluarganya menunju dunia yang
bebas hambatan, tanpa diskriminasi berdasarkan hak-hak
asasi melalui upaya pencegahan kecacatan, memajukan
persamaan kesempatan dan partisipasi penyandang cacat
di segala bidang. Organisasi yang berkedudukan di New
York , Amerika Serikat , ini mempunyai anggota di
lebih 80 negara di seluruh dunia. Organisasi ini
memiliki para profesional di bidangnya yang
dikelompokan dalam beberapa komisi, seperti Komisi
Medis, Komisi Sosial, Komisi Pendidikan, Komisi
Technologi dan Informasi serta Akssibilitas, Komisi
Ketenaga Kerjaan serta Komisi Rekreasi dan Olah Raga.

Indonesia merupakan salah satu anggota Rehabilitasi
Internasional yang perwakilannya di Indonesia berada
di bawah Yayasan Pemeliharaan Anak Cacat (YPAC). Untuk
kawasan Asia dan Pasifik, peranan Indonesia termasuk
anggota yang aktif. Di tahun 1995, National Secretary
Rehabilitation International For Indonesia, menjadi
penyelenggara konferensi organisasi ini untuk kawasan
Asia dan Pasifik, yang dikenal dengan Asperari. Selain
itu juga menjadi tuan rumah penyelenggaraan Konferensi
Internasional tentang Tourism bagi penyandang cacat.
Sejak tahun 1998 hingga 2004, National Secretary
Rehabilitation International for Indonesia yang
dijabat oleh Ibu Mieke Soegeng Soepari mendapat
kepercayaan sebagai pengurus eksektif (Vice President)
untuk wilayah Asia dan Pasifik.

Beberapa aktivitas yang telah dilakukan organisasi
Rehabilitasi Internasional antara lain, di tahun 1999
mengusulkan kepada PBB tentang pentingnya Konvensi PBB
tentang Hak-hak Penyandang Cacat. Saat ini Draft
konvensi tersebut sedang dalam pembahasan akhir
Panitia Ad Hoc PBB di mana RI (Rehabilitation
International) adalah salah satu anggota panitia
tersebut. RI bersama dengan UNICEF menyediakan
dukungan sebagai focal point yang berkaitan dengan
permasalahan anak-anak penyandang cacat. Selain itu
menyebarluaskan informasi yang berkaitan dengan
masalah penyandang cacat secara periodik dalam bentuk
jurnal maupun melalui website. RI juga yang
memprakasai simbol aksess internasional serta
mendirikan berbagai lembaga di bidang rehabilitasi
berbasiskanmasyarakat.
(Eva Kasim, salah satu delegasi Indonesia yang
mengikuti World Konggress of Rehabilitation di