Wednesday, December 08, 2004

TINJAU KEMBALI REHABILITASI PENYANDANG CACAT

Bulan Juni lalu di Oslo ibukota Norwegia, berlangsung
Kongres Dunia Rehabilitasi Internasional yang ke-20.
Kongress yang diikuti oleh lebih dari seribu orang
peserta dari 76 negara di seluruh dunia membahas
pelaksanaan rehabilitasi penyandang cacat dengan fokus
pada 3 perspektif, dalam proses rehabilitasi.

Suasana musim panas (summer) ketika itu tidak begitu
terasa , karena hampir setiap hari hujan turun dengan
suhu berkisar 9 hingga 18 derajat celcius. "Kami biasa
menghadapi musim seperti ini dan kami menyebutnya
'Green Winter'", kata seorang peserta tuan rumah.
Cukup dingin memang, khususnya bagi pendatang yang
berasal dari daerah tropis. Tetapi dinginnya cuaca
tidak mengurangi semangat dan antusiasme peserta untuk
mengikuti konggress dunia organisasi Rehabilitation
International yang digelar setiap empat tahun sekali
yang pada tahun ini merupakan konggress dunia ke-20
sejak organisasi ini berdiri tahun 1922.

Pada pertemuan tersebut dibahas antara lain upaya
peningkatan kualitas hidup penyandang cacat dalam
berbagai aspek kehidupan ditinjau dari 3 pilar utama
dalam proses rehabilitasi, yaitu perspektif user
(penyandang cacat), perspektif hak asasi manusia/
warga serta perspektif multikultural. Dari pertemuan
yang berlangsung selama hampir lima hari tersebut,
dapat disimpulkan adanya pengakuan terjadinya
kesenjangan dalam proses rehabilitasi penyandang cacat
selama ini dan peningkatan kesadaran akan pentingnya
partisipasi dan pelibatan penyandang cacat serta
pengaruh mereka dalam proses rehabilitasi. Selain itu
juga pentingnya perhatian terhadap hak-hak asasi
penyandang cacat sebagai manusia dan sebagai warga
negara yang mengakselerasi sistem rehabilitasi di
seluruh dunia. Ditambahkan pula , meskipun penanganan
masalah rehabilitasi penyandang cacat sudah
mengglobal, namun tidak mudah untuk membuat kebijakan
dan melaksanakannya di tingkat lokal, karena
masyarakat berbeda satu tempat dengan tempat lainnya .
Oleh sebab itu diperlukan perumusan kebijakan dan
praktek untuk mengatasi masalah tersebut berdasarkan
pendekatan multikultural.

Konggress dibuka secara resmi oleh Menteri Sosial dan
Tenaga Kerja Norwegia, Dagfinn Hoybraten yang
menduduki jabatan tersebut 3 hari sebelum konggress
berlangsung (sebelumnya ia menduduki posisi Menteri
Kesehatan). Dalam sambutannya, Dagfinn mengungkapkan
bahwa pelaksanaan rehabilitasi selama ini ini sering
digambarkan sebagai bentuk dominannya para profesional
serta pengeekslusifan dan tersegregasinya (di
pusat-pusat rehabilitasi) penyandang cacat dari
mainstream masyarakat. Pemahaman rehabilitasi yang
dianggap sebagai upaya pemulihan fungsi fisik atau
mental sebagai akibat kerusakan atau kehilangan fungsi
yang disebabkan oleh sakit (penyakit), rehabilitasi
dilaksanakan agar dapat melakuan aktivitas sebagaimana
yang "normal" dengan memperbaiki kerusakan atau
kehilangan fungsi tersebut, untuk saat ini pemahaman
itu tidak dapat menjawab persoalan penyandang cacat.
"Masalahnya, bukan kerusakan atau kehilangan fungsi
tubuh atau mental yang menghalangi penyandang cacat
untuk berpartisipasi, tetapi cara pengorganisasian
masyarakat ",

Sejak tahun 1999, Norwegia, melalui White Paper on
Rehabilitation menyatakan rehabilitasi sebagai suatu
proses yang direncanakan dengan sebaik-baiknya tujuan
serta perangkatnya dengan beberapa unsur pekerja
(profesional) untuk membantu usaha yang dilakukan
penyandang cacat untuk mencapai kemungkinan yang
sebaik-baiknya dalam melakuan fungsi dan mengatasi
persoalannya, serta kemandirian dan berpartisipasi
secara sosial dan di masyarakat. Diungkapkannya,
negaranya saat ini tengah berupaya memperjuangkan
suatu masyarakat yang inklusif. Dicontohkannya
beberapa upaya yang dilakukan di negara Skandinavia
tersebut, antara lain dengan mencipatakan aksess yang
lebih baik bagi penyandang cacat, termasuk dalam
mendapatkan alat bantu (assistive devices) dan dalam
lapangan pekerjaan, juga dalam memajukan pendidikan
terpadu bagi anak-anak yang menyandang cacat. Ia juga
menyatakan bahwa negaranya termasuk dari beberapa
negara yang aktif dalam menegakan hak-hak asasi
manusia di seluruh dunia melalui team kerjasama
internasionalnya.

Rethinking Rehabilitation
Konsep dan pelaksanaan rehabilitasi penyandang cacat
merupakan salah satu pokok bahasan penting pada
konggres yang bertemakan Rethinking Rehabilitation
tersebut. Di banyak negara, konsep dan pelaksanaan
rehabilitasi penyandang cacat berakar dari suatu
pendekatan medis dan individual. Menurut pendekatan
ini,keberfungsian secara fisik dan mental seseorang
merupakan prasyarat baginya untuk dapat menentukan
kehendaknya dan berpartisipasi dalam berbagai
aktivitas, karenanya upaya perbaikan fungsi fisik dan
mental tersebut menjadi fokus dalam proses
rehabilitasi. Padahal kenyataannya tidaklah demikian.
Hal ini tidak untuk mengatakan bahwa berbagai bentuk
terapi tidaklah penting, namun cara ini juga
direfleksikan dalam kehidupan sosial yang menyebabkan
terhambatnya para penyandang cacat mendapatkan
kesempatan berpartisipasi secara sama dalam berbagai
aktivitas dalam kehidupan masyarakat. Misalnya, ketika
seorang pemakai kursi roda tidak bisa menaiki bus, hal
ini bukan disebabkan oleh karena kakinya yang tidak
berfungsi sehingga harus menggunakan kursi roda
tersebut, tetapi buslah yang tidak aksessible. Dengan
kata lain, rehabilitasi tidak cuma untuk memperbaiki
kerusakan atau ketidaknormalan fungsi fisik atau
mental seseorang, tetapi juga berkaitan dengan faktor
di luar individu tersebut, seperti sikap masyarakat di
sekitarnya dan kondisi lingkungan.

Kritikan terhadap penanganan masalah penyandang cacat
tersebut sesungguhnya sudah direspon Organisasi
Kesehatan Sedunia (WHO) dan para profesional yang
bekerja di bidang rehabilitasi. WHO, misalnya, sejak
tahun 2001 sudah merevisi definisi penyandang cacat.
(Perlu diketahui bahwa definisi WHO tentang penyandang
cacat menjadi acuan banyak negara tentang penyandang
cacat). Sebelum tahun tersebut, WHO mengeluarkan
pedoman yang disebut International Classification of
Impairment, Disability and Handicap. Ada 3 konsep yang
dibedakan, yaitu: Impairment, adalah hilangnya atau
ketidaknormalan struktur atau fungsi psikologis, fisik
atau anatomi. Sedangkan disability mengacu kepada
keterbatasan kemampuan untuk melakukan aktivitas
secara "normal" yang disebabkan oleh impairment .
Disability digambarkan sebagai gangguan fungsional
yang dialami sesorang. Adapun handicap, merupakan
ketidakberuntungan sesorang yang diakibatkan oleh
impairment dan disability yang menyebabkan ia tidak
dapat melakukan perannya secara sosial maupun ekonomi
(tergantung pada konteks usia, kelamin, sosial dan
budaya).

WHO merevisi konsep ini dengan sebutan International
Classification of Functioning Disability and Health
(ICF). Pada konsep yang baru ini, imparment bukanlah
satu-satunya faktor yang menjadi fokus dalam menilai
keberfungsian kemampuan seseorang. Ada 2 komponen
utama yang perlu dipelajari dalam memahami masalah
penyandang cacat. Yaitu: Functioning (keberfungsian)
dan Disability (ketidakmampuan). Bagian pertama
meliputi keberfungsian badan/anatomi dan struktur
serta aktivitas dan partisipasi. Sedangkan bagian
kedua terdiri dari Faktor-faktor kontekstual, seperti
faktor lingkungan dan faktor -faktor yang sifatnya
peersonal. Menurut konsep ini, masalah penyandang
cacat timbul sebagai interaksi dari berbagai
komponen-komponen tersebut.

Dari pemahaman tersebut diyakini bahwa kegiatan
rehabilitasi penyandang cacat seharunya tidak identik
dengan institusionalised penyandang cacat . Bukan juga
beberapa bentuk pelayanan khusus karena pelayanan
khusus itu tidak dapat dikatakan sebagai rehabilitasi.
Yang pasti, rehabilitasi adalah apapun yang dilakukan
untuk membantu usaha penyandang cacat mencapai
tujuannya menjadi anggota masyarakat yang berfungsi
penuh dalam masyarakatnya, dan hal ini harus dilakukan
secara menyeluruh dan terpadu.
Tentang Organisasi Rehabilitasi Internasional
Rehabilitation International adalah suatu organisasi
federasi internasional yang merupakan jejaring dunia
mencakup para penyandang cacat, pemberi
pelayanan/profesional di bidang rehabilitasi serta
organisasi pemerintahan dan badan-badan internasional
yang bekerjasama untuk meningkatkan kualitas hidup
penyandang cacat dan keluarganya menunju dunia yang
bebas hambatan, tanpa diskriminasi berdasarkan hak-hak
asasi melalui upaya pencegahan kecacatan, memajukan
persamaan kesempatan dan partisipasi penyandang cacat
di segala bidang. Organisasi yang berkedudukan di New
York , Amerika Serikat , ini mempunyai anggota di
lebih 80 negara di seluruh dunia. Organisasi ini
memiliki para profesional di bidangnya yang
dikelompokan dalam beberapa komisi, seperti Komisi
Medis, Komisi Sosial, Komisi Pendidikan, Komisi
Technologi dan Informasi serta Akssibilitas, Komisi
Ketenaga Kerjaan serta Komisi Rekreasi dan Olah Raga.

Indonesia merupakan salah satu anggota Rehabilitasi
Internasional yang perwakilannya di Indonesia berada
di bawah Yayasan Pemeliharaan Anak Cacat (YPAC). Untuk
kawasan Asia dan Pasifik, peranan Indonesia termasuk
anggota yang aktif. Di tahun 1995, National Secretary
Rehabilitation International For Indonesia, menjadi
penyelenggara konferensi organisasi ini untuk kawasan
Asia dan Pasifik, yang dikenal dengan Asperari. Selain
itu juga menjadi tuan rumah penyelenggaraan Konferensi
Internasional tentang Tourism bagi penyandang cacat.
Sejak tahun 1998 hingga 2004, National Secretary
Rehabilitation International for Indonesia yang
dijabat oleh Ibu Mieke Soegeng Soepari mendapat
kepercayaan sebagai pengurus eksektif (Vice President)
untuk wilayah Asia dan Pasifik.

Beberapa aktivitas yang telah dilakukan organisasi
Rehabilitasi Internasional antara lain, di tahun 1999
mengusulkan kepada PBB tentang pentingnya Konvensi PBB
tentang Hak-hak Penyandang Cacat. Saat ini Draft
konvensi tersebut sedang dalam pembahasan akhir
Panitia Ad Hoc PBB di mana RI (Rehabilitation
International) adalah salah satu anggota panitia
tersebut. RI bersama dengan UNICEF menyediakan
dukungan sebagai focal point yang berkaitan dengan
permasalahan anak-anak penyandang cacat. Selain itu
menyebarluaskan informasi yang berkaitan dengan
masalah penyandang cacat secara periodik dalam bentuk
jurnal maupun melalui website. RI juga yang
memprakasai simbol aksess internasional serta
mendirikan berbagai lembaga di bidang rehabilitasi
berbasiskanmasyarakat.
(Eva Kasim, salah satu delegasi Indonesia yang
mengikuti World Konggress of Rehabilitation di

4 Comments:

At 9:52 PM, Blogger Unknown said...

saya ade saepuloh mahasiswa institut pertanian bogor,saya penyandang cacat pada kaki, saat ini saya ingin membeli penyangga kaki, saya dapat rekomendasi bahwa alatnya bisa di pesan di YPAC di jalan hang lekir jakarta selatan.

namun tepatnya di mana saya tidak tahu jl hang lekirnya di mana, mohon bantuannya mengenai alamat lengkap YPAC yang di jakarta tersebut

terima kasih atas perhatiannya
email : ade_jac_ky1@yahoo.co.id

 
At 9:54 PM, Blogger Unknown said...

saya ade saepuloh mahasiswa institut pertanian bogor,saya penyandang cacat pada kaki, saat ini saya ingin membeli penyangga kaki, saya dapat rekomendasi bahwa alatnya bisa di pesan di YPAC di jalan hang lekir jakarta selatan.

namun tepatnya di mana saya tidak tahu jl hang lekirnya di mana, mohon bantuannya mengenai alamat lengkap YPAC yang di jakarta tersebut

terima kasih atas perhatiannya
email : ade_jac_ky1@yahoo.co.id

 
At 5:46 AM, Blogger melodi_sunyi said...

Saya aulia amin yang saat ini bergabung dalam KAPCI ( Komite Advokasi Penyandang Cacat Indonesia ). Dalam pandangan saya upaya rehabilitasi penyandang cacaat di indonesia tersendat di karena kan adanya ketidak seimbangan koordinasi , konfirmasi dan informasi antara Organisasi Penca sebagai Mediator Pemerintah kepada Para penyandang cacat di tingkat akar rumput. Banyak saya jumpai di di beberapa Organisasi Penca yang menjadikan upaya peningkatan taraf hidup penca, sebagai sebagai sarana memperkaya diri. artinya selain tidak tercapainya target proyek rehabilitasi juga di laksanakan oleh teman teman yang mempunyai kedekatan secara personal. hal ini jelas jelas sangat profesional dan memang tampak tidak adanya perjuangan di dasarkan atas persamaan nasib dengan ikhlas tidak mencari keuntungan pribadi.
Demikian hasil peninjauan saya , semoga hal ini benar benar menjadi perhatian kita bersama. Sebab Siapa lagi yang mau memperjuangkan Nasib kita sebagai penca kalau tidak kita sendiri yang berusaha sekuat tenaga......> terutama kepada Penca - penca yang telah mampu mandiri dan sejahtera.

 
At 1:20 PM, Blogger all about my hobby said...

saya sebagai penyandang cacat fisik merasa penilaian orang pada umumnya yang membuat tertekan karena orang banyak selalu menginginkan yang "Sempurna" dan itu berat hidup di antara yang "sempurna" yang saya lakukan hanya berusaha kuat menghadapinya walau kadang-kadang merasa rendah diri dan minder

 

Post a Comment

<< Home