Thursday, December 09, 2004

PEGAWAI PEMERINTAH MEMEGANG PERANAN PENTING DALAM KEBERHASILAN PROGRAM PENINGKATAN KUALITAS HIDUP PENYANDANG CACAT

Anggota redaksi Info Societa, Dra. Eva Rahmi Kasim,
MDS, bersama DR. Yasin Siswanto, Asisten Deputi Bidang
Keamanan Sosial Kementerian Koordinator Bidang
Kesejahteran Rakyat, pada tanggal 23 sampai dengan 30
Maret yang lalu mendapat kesempatan untuk berkunjung
ke Bangkok, Thailand, mengikuti International
Workshop on Raising Disability Awareness of Public
Administration Personnel to Promote Disabled Person's
Inclusion in Development Process. Keikutsertaan
keduanya mewakili Indonesia dan keberangkatannya
disponsori oleh Colombo Plan dan UN-ESCAP (Komisi
Ekonomi dan Sosial PBB untuk Asia dan Pasifik),
sebagai penyelenggaraan workshop yang pertama kalinya
diadakan bagi pegawai pemerintahan di kawasan Asia dan
Pasifik.

Colombo Plan adalah forum kerjasama negara Selatan
-selatan yang mempunyai kegiatan utama pada
pengembangan sumber daya manusia negara anggotanya
dalam rangka peningkatan pembangunan sosial dan
ekonomi. Saat ini negara yang tergabung dalam Colombo
Plan adalah: Afganistan, Australia, Bangladesh,
Buthan, Kamboja, Fiji, Indonesia, India, Jepang,
Korea, Laos, Malaysia, Maldev, Myanmar, New Zealand,
Pakistan, Papua Nugini, Philipina, Singapura,
Srilanka, Thailand, Vietnam dan Amerika Serikat.
Sedangkan UN-ESCAP adalah Komisi Ekonomi dan Sosial
Perserikatan Bangsa-bangsa untuk Asia dan Pasifik.

Workshop diikuti oleh 20 peserta dari 14 negara itu
membahas beberapa pokok bahasan penting, yaitu
internasional mandats tentang kecacatan;
kecacatan,kemiskinan dan pembangunan; lingkungan yang
bersahabat bagi penyandang cacat; sebab dan pencegahan
kecacatan; kesehatan, pendidikan dan ketenagakerjaan;
dan mobilisasi sosial bagi peningkatan kualitas hidup
penyandang cacat. Workshop disampaikan dalam berbagai
format, antara lain diskusi kelompok, kunjungan
lapangan ke daerah kumuh Klong Toey di kota Bangkok,
latihan simulasi pengalaman kecacatan, panel diskusi,
presentasi dan pengembangan rencana aksi perorangan
dan kelompok. Berdasarkan hasil diskusi dan pemaparan
para peserta diketahui bahwa beberapa negara sudah
mengintegrasikan dan mengarusutamakan dimensi
kecacatan dalam program pembangunan yang didasarkan
atas prinsip-rinsip hak-hak penyandang cacat, namun
pelaksanaannya masih dihadapi pada berbagai kendala,
misalnya anggapan bahwa masalah penyandang cacat
semata-mata tugas dari kementerian sosial sehingga
sektor-sektor lain merasa tidak berkewajiban untuk
menanganinya, selain itu juga kurangnya dukungan
dansensitivitas dikalangan para pembuat kebutusan
terhadap masalah ini yang berakibat masalah
penyandang cacat dinomor duakan, termasuk dalam
pengalokasian dana pembangunan.

Deputy Executive Secretary UN ESCAP, Ms. Keiko Okaido,
mewakili Direktur UN-ESCAP, dalam pembukaan workshop
tersebut mengatakan bahwa selama lebih dari satu
dasawarsa, ESCAP menjadikan masalah kecacatan sebagai
salah satu prioritas program kerjanya, antara lain
dengan menetapkan tahun 1993-2002 sebagai Dekade
Penyandang Cacat Asia Pasifik beserta Agenda For
Action untuk mengisi dasawarsa itu. Hasilnya, selama
itu pula telah terjadi perbaikan dalam upaya
peningkatan kualitas hidup penyandang cacat, terutama
semakin banyaknya negara anggota yang memiliki
undang-undang penyandang cacat dan memiliki mekanisme
koordinasi nasional dalam program kecacatan. Dari
evaluasi yang dilakukan UN-ESCAP, diakuinya pula bahwa
masih banyak pula program-program kecacatan yang belum
berhasil, termasuk pula dalam pelibatan penyandang
cacat dalam pembangunan. Untuk itulah, maka UN-ESCAP
kembali memberi perhatian utama pada masalah ini
dengan menetapkan Dekade II Penyandang Cacat Asia
Pasifik 2003-2012 dan menghimbau negara-negara
anggotanya untuk melaksanakan program-program
kecacatan selama kurun waktu tersebut. Program ini
dituangkan dalam rencana aksi yang disebut Kerangka
Kerja Biwako Milenium yang dilahirkan pada pertemuan
pejabat pemerintahan anggota ESCAP di Otshu, Jepang
dan disetujui oleh para pejabat yang mewakili
negara-negara ESCAP. Kerangka Kerja Biwako Milenium
menetapkan 7 program prioritas yang harus menjadi
perhatian, yaitu: 1. Self-Help Organisasi Penyandang
Cacat dan Perkumpulan Orang Tua Penyandang Cacat, 2.
Wanita Penyandang Cacat, 3. Pencegahan, deteksi dan
intervensi dini kecacatan serta Pendidikan, 4.
Pelatihan dan penempatan kerja, 5. Akses terhadap
lingkungan dan transportasi umum, 6. Akses terhadap
informasi dan komunikasi serta 7. Pengentasan
kemiskinan melalui peningkatan kemampuan perlindungan
sosial dan kelangsungan hidup. Menurut Deputy
Executive Secretary UN-ESCAP, keberhasilan dalam
pencapaian pelaksanaan program kerja Biwako Milenium
ini di masing-masing negara sangat ditentukan oleh
para pegawai pemerintahan yang merupakan para pembuat
dan pelaksana kebijakan.

Sementara itu, Direktur Program Administrasi
Pemerintahan, Colombo Plan, Tomikazu Inagaki,
mengatakan bahwa sejak tahun 2002, Colombo Plan telah
melakukan peningkatan aktivitas dan diversifikasi
program termasuk pula berkoloborasi dengan berbagai
organisasi internasional dalam penyelenggaraan
pelatihan dan pendidikan bagi pegawai pemerintahan.
Hal ini bertujuan untuk pelaksanaan projects di bidang
perumusan kebijaksanaan ekonomi makro dan manajement
yang memperhatikan aspek-aspek pembangunan yang
berkelanjutan, masalah lingkungan, penghapusan
kemiskinan, good governance , pemanfaatan Informasi
dan Teknologi dalam administrasi, kerjasama eknomi
internasional dan sebaginya.

Mengunjungi Klong Toey, daerah kumuh kota Bangkok

Klong Toey adalah daerah kawasan paling kumuh di kota
Bangkok, kontras dengan gedung-gedung pencakar langit,
pusat perbelanjaan dan hotel-hotel mewah disekitarnya.
Daerah ini didiami oleh lebih dari 1000 komunitas
miskin. Mereka yang tinggal di area tersebut umumnya
bekerja di sektor informal, seperti pemulung, pekerja
pelabuhan, pembantu rumah tangga, pedagang kaki lima
dan juga pengangguran yang datang dari daerah pedesaan
di sekitar kota Bangkok. Para peserta workshop
mengunjungi daerah ini untuk melihat sendiri
permasalahan sosial yang ada di daerah itu dan
sekembalinya dari kunjungan tersebut mendiskusikan
kenyataan yang dilihat di lapangan dan kemudian
membuat rencana kerja untuk mengatasi persoalan
semacam itu, khususnya yang berkaitan dengan
permasalahan penyandang cacat dan keluarganya yang
berdiami daerah miskin perkotaan.

Para peserta juga melakukan diskusi dengan para
aktivist penyandang cacat lokal dan sebuah lembaga
organisasi masyarakat setempat yang sejak tahun 1978
terus menerus melakukan perbaikan kehidupan warga
daerah kumuh ini dari berbagai aspek. Lembaga
organisasi masyarakat itu bernama Duang Prateep
Foundation dan didirikan oleh warga daerah kumuh itu
dan merekruit pekerja sosial masyarakat yang berasal
darikalangan penduduk miskin itu sendiri.

Latihan Simulasi Kecacatan
Latihan Simulasi Kecacatan merupakan salah satu
program workshop yang paling berkesan bagi peserta.
Dalam program ini, para peserta yang umumnya bukan
penyandang cacat itu selama setengah hari menjalani
pelatihan seakan-akan mereka adalah para penyandang
cacat. Peserta yang seolah-olah pengguna kursi roda,
pemakai tongkat putih dan lansia yang rapuh ,
mendatangi tempat-tempat keramaian seperti pasar dan
jalan-jalan umum. Mereka merasakan bagaimana susahnya
menjadi penyandang cacat, baik dalam menghadapi
lingkungan fisik seperti trotoar, dan bangunan yang
tidak bersahabat dengan kondisi kecacatan, juga
pandangan dan sikap orang-orang sekitar yang melihat
aneh pada kondisi mereka.

DR Yasin Siswanto dalam simulasi itu berperan
sebagai pengguna kursi roda mengungkapkan
pengalamannya bahwa ternyata tidak mudah menggunakan
kursi roda, "diperlukan banyak energi untuk mendorong
sendiri kursi roda , lebih dari apa yang saya
perkirakan sebelumnya". Hal senada juga dikemukakan
oleh Muhammad Madjid dari Pakistan yang dinegerinya
adalah seorang direktur untuk urusan pendidikan khusus
( di Indonesia pendidikan luar biasa). Ia yang
berperan sebagai orang lanjut usia yang bermasalah
dengan fungsi-fungsi tubuh seperti penglihatan yang
kabur, tungkai yang lemah dan kaku, mengaku selama
setengah hari menjalani pelatihan ia merasa seluruh
tubuh menjadi lemas tanpa daya dan membutuhkan bantuan
orang lain," apalagi bila hal itu benar-benar
terjadi".

Ya, kebanyakan orang tidak akan pernah mengerti
seperti apa dan bagaimana masalah penyandang cacat,
kecuali bila pernah merasakannya. Itulah ide
dibelakang penyelenggaraan latihan simulasi ini untuk
menimbulkan rasa sensitivitas mereka terhadap isu
kecacatan. (eva)


Laporan dari International Workshop
on Raising Disability Awareness of Public
Administration Personnel
to Promote Disabled Person's Inclusion in Development
Process,
Bangkok, 24 s/d 29 Maret 2003

1 Comments:

At 7:14 AM, Blogger kiky f said...

just browsing--- a serious blog I suppose..but, I think this f***** country has an obligation to provide facilities to disable people.
Soalnya, sometimes I wonder, kalo seseorang dipilih Tuhan untuk menjadi disable...dan dia (pastinya) menginkan hidup yang sama layaknya dengan yang so-called-normal-but sering ngga punya hati nurani---negara ini ngga peduli.mau sekolah dimana, mau pergi naik apa, mau jalan kek, mau naik kereta , mau kerja dimana, terserah loe deh suka2x. yang penting APBD sebagian ada di kantong gue...

 

Post a Comment

<< Home