Monday, December 13, 2004

CACATAN MENUTUP DEKADE ASIA PASIFIK BAGI PENYANDANG CACAT

Indonesia adalah salah satu negara anggota ESCAP
(Komisi Ekonomi dan Sosial PBB untuk Asia dan
Pasifik) yang menandatangi Resolusi 48/3 tahun 1992
tentang Dasawarsa Asia Pasifik untuk Penyandang Cacat,
termasuk berbagai agenda aksi untuk mengisi dasawarsa
tersebut. Setiap dua tahun sekali implementasi dari
agenda aksi tersebut dievaluasi dalam pertemuan
tingkat tinggi pemerintahan anggota ESCAP. Tahun 2002
merupakan akhir Dasawarsa Asia Pasifik untuk
Penyandang Cacat. Bagaimana peranan dan pencapaian
Indonesia dalam kurun waktu tersebut? Berikut ini
beberapa cacatan tentang hal tersebut.

Agenda aksi dasawarsa Asia dan Pasifik untuk
penyandang cacat dimaksudkan untuk meningkatkan
kualitas hidup penyandang cacat melalui prinsip
kesetaraan dan partisipasi penuh dalam berbagai aspek
kehidupan. Agenda aksi terdiri dari 12 bidang, yaitu:
koordinasi nasional bidang kecacatan,
perundang-undangan, kepedulian masyarakat ,
aksesibilitas dan komunikasi, pendidikan,
ketenagakerjaan, rehabilitasi, penyediaan alat bantu,
pemberdayaan organisasi penyandang cacat , serta
kerjasama regional dan internasional.

Secara keseluruhan, Indonesia sudah berupaya untuk
melaksanakan agenda aksi itu, hal ini dapat dilihat
dari upaya-upaya yang telah dilakukan baik oleh
pemerintah maupun oleh masyarakat atau pemerintah
bersama-bersama dengan masyarakat, meskipun harus
diakui hasil dari pelaksanaan itu belum banyak memberi
perubahan pada perbaikan kondisi penyandang cacat
secara nyata.

Berberapa upaya yang telah dilakukan misalnya,
pengkoordinasian masalah kecacatan secara nasional
dengan pembentukan Tim Koordinasi Usaha Kesejahteraan
Sosial Penyandang Cacat. Pengkoordinasian penangan
masalah kecacatan secara nasional diyakini dapat
menyatupadukan dan menghindari tumpang tindih program
maupun kegiatan dan sekaligus memudahkan penyampaian
pelayanan hingga ke daerah terpencil. Pemikiran
tentang ini sudah dilaksanakan di Indonesia jauh
sebelumpendeklarasian Dasawarsa Asia-Pasifik untuk
Penyandang Cacat oleh UN-ESCAP. Hal ini dapat dilihat
dalam Keppres RI No. 39 Tahun 1983 tentang Lembaga
Koordinasi Nasional Penyandang Cacat. Keppres ini
terakhir disempurnakan tahun 1999 dengan No. 83.
Dalam kelembagaan ini Departemen Sosial menjadi
leading sector , namun ketika Departemen Sosial
dilikuidasi tahun 1999 hingga 2001, lembaga ini
menjadi stagnan. Kevakuman lembaga ini dengan
ketiadaan Depsos menyiratkan bahwa permasalahan
penyandang cacat di negeri ini masih terfokus pada
pendekatan kesejahteraan sosial, padahal permasalahan
penyandang cacat meliputi berbagai aspek hidup dan
kehidupan. Beruntung Depsos hadir kembali dan untuk
mengaktifkan kembali fungsi pengkoordinasian dalam
penanganan masalah penyandang cacat, Depsos kembali
berinisiatif untuk membentuk Tim Koordinasi Usaha
Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat (Tim UKS Paca)
yang keanggotaannya terdiri dari beberapa wakil dari
instansi terkait, organisasi penyandang cacat,
pemerhati bidang kecacatan dan organisasi sosial di
bidang kecacatan , termasuk organisasi para penyandang
cacat.

Dalam hal peraturan perundang-undangan, di tahun 1997
pemerintah bersama DPR berhasil menghadirkan
Undang-undang No. 4 tentang Penyandang Cacat.
Undang-undang ini menjadi landasan untuk peningkatan
kualitas hidup penyandang cacat yang didsarkan atas
prinsip kesetaraan (persamaan) kesempatan dan
partisipasi penyandang cacat dalam berbagai aspek
hidup dan kehidupan. Beberapa hal yang menjadi bahasan
dalam UU ini antara lain masalah aksessibilitas,
rehabilitasi, kesempatan kerja, kesehatan serta
pendidikan.

Undang-undang tersebut juga sudah dikembangkan lebih
jauh dalam bentukperundang-undangan lainnya, seperti
Keppres, Peraturan Pemerintah, dan berbagai Keputusan
Menteri, Gubernur maupun dalam bentu Surat Edaran.
Sayangnya, meskipun UU ini sudah menyatakan tentang
persamaan kesempatan bagi penyandang cacat, masih
banyak peraturan perundang-undangan yang ada yang
bersifat diskriminatif terhadap penyandang cacat dan
belum ada upaya untuk melakukan perubahan (amandamen)
terhadap berbagai peraturan tersebut. Selain itu,
masih belum ada mekanisme pengawasan yang memadai atas
pelaksanaan Undang-undang No.4 / 1997 tersebut (law
enforcement). Sebagai contoh, masalah aksesibilitas
fisik. Dalam UU No.4/1997 dinyatakan bahwa persamaan
kesempatan diwujudkan melalui penyediaan
aksessibilitas. Lebih lanjut Kepmen PU No. 468 tahun
1998 menjabarkan masalah aksessibilitas fisik ini yang
berkaitan dengan lingkngan dan bangunan untuk publik.
Kemudian Menteri Perhubungan juga mengeluarkan Surat
Keputusan tentaang Penyediaan Aksesibilitas dalam
pemakaian transportasi umum bagi penyandang cacat dan
lansia, yang dituangkan dalam SK No. 71 tahun 1999.

Aksessibilitas yang merupakan prasyarat bagi
penyandang cacat untuk dapat berpartisipasi dalam
masyarakat bukan hanya bersifat fisik, seperti
lingkungan yang bebas hambatan dan transportasi yang
mudah, tetapi juga meliputi aspek non fisik seperti
sikap atau penerimaan masyarakat akan keberadaan
pnyandang cacat. Sikap yang diharapkan adalah
penerimaan secara wajar dan meniadakan diskriminasi
serta stigmasasi.

Catatan lain yang perlu menjadi perhatian adalah
masalah informasi dan data penyandang cacat. Hingga
saat ini informasi dan data tentang penyandang cacat
masih bersifat umum, itupun belum ada keseragaman
definisi tentang penyandang caat dan cara pengumpulan
data yang digunakan. Sebagai contoh, Depsos
mengelompokan jenis kecacatan atas dasar jenis cacat
tubuh, netra, mental, rungu dan wicara, psikotik dan
eks penyakit kronis. Sedangkan Depkes mengacu pada
definisi yang dikeluarkan WHO tentang Impairement,
Disability dan Handicap. Kehadiran data yang akurat
sangat diperlukan dalam perencanaan pelayanan bagi
penyandang cacat, misalnya, penyandang cacat yang
bermukim di pedesaan bisa jadi memerlukan pelayanan
yang berbeda dengan mereka yang tinggal di perkotaan.
Begitu juga penyandang caca anak, wanita yang
memerlukan pelayanan khusus. Untuk hal-hal tersebut
maka ketersediaan data dan informasi adalah sangat
penting.
Kesempatan kerja penyandang cacat, menjadi cacatan
penting dalam menutup Dekade Asia-Pasifik bagi
Penyandang Cacat. Belum ada keterangan yang dapat
dijadikan pegangan untuk mengetahui keberadaan
penyandang cacat yang masuk ke dalam sektor kerja
formal maupun yang mandiri secara ekonomi , namun
dapat dipastikan sangat sedikit sekali dari mereka
yang mamp menembus sektor kerja formal. Kenyataan ini
didukung oleh buruknya situasi perekonomian dalam
kurun waktu lebih dari 5 tahun terakhir yang berakibat
semakin banyaknya pengangguran dan semakin
kompetitifny persaingan memasuki bursa kerja.
Sebenarnya, peluang kerja bagi penyandang cacatsudah
dijamin dalam UU No.4 /1997 dengan penerapan Quota
system, yaitu setiap perusahaan diwajibkan
mempekerjakan penyandang cacat sebanyak 1 per sen dari
jumlah tenaga kerjanya atau membayar denda atau
dikenakan sanksi kurungan penjara. Namun, sayangnya
pelaksanaan ketentuan ini belum ditindaklanjuti secara
tegas, misalnya siapa yang berwenang melakukan
monitoring terhadap pelaksanaannya dan kepada siapa
denda dibayarkan.

Selain melalui kesempatan kerja di bursa kerja,
pemerintah juga sudah melakukan upaya peningkatan
keterampilankerja melalui program-program vokasional
training dan upaya kerja mandiri melalui KUBE
(Kelompok Usaha Bersaama). Strategi ini dapat
membantu menghapuskan/mengurangi pengangguran di
kalangan penyandang cacat, namun lagi-lagi program ini
sering berhenti di tengah jalan atau tidak
berkelanjutan.

Pemberdayaan organisasi penyandang cacat juga patut
menjadi cacatan. Kelompok penyandang caat sanat
penting peranannya dalam peningkatan kualitas hidup
penyandang cacat. Mereka mengupayakan advokasi bagi
kelompoknya dan menjadi role model . Keterlibatan
mereka dalam program-program yang menyangkut
penyandang cacat sangat diperlukan baik dalam hal
perencanaan, pelaksanaan maupun evaluasinya.
Keberadaan kebanyakan organisasi penyandang cacat
hingga kini belum dilengkapi dengan kemampuan
manajerial dan finansil yang memadai. Pelibatan mereka
yang berada di akar rumput (daerah dan daerah
terpencil) masih kurang dan perhatian masih cenderung
pada mereka yang di kota -kota besar. Untuk
peningkatan (capacity building) organisasi penyandang
cacat harus terus diupayakan agar mereka dapat menjadi
agen pembaruan yang efektif bagi kelompoknya.

Menutup Dekade Asia-Pasifik untuk Penyandang Cacat,
para pemimpin negara anggota ESCAP yang hadir pada
pertemuan tingkat tinggi di Otsu, Shiga, Jepang,
sepakat untuk melanjutkan Dekade kedua Asia-Pasifik
bagi Penyandang Cacat dan meneruskan agenda aksi yang
belum terlaksana. Kesepakatan itu dituangkan dalam
Kerangka kerja yang disebut Biwako Millenium Framework
yang bertemakan masyarakat untuk semua, bebas dari
hambatan dan rintangan bagi penyandang cacat baik
fisik maupun non fisik serta didasarkan pada hak
asasi manusia. Prioritas masalah kecacatan yang
menjadi target perhatian diantaranya adalah
pemberdayaan organisasi penyandang cacat, wanita
penyandang cacat, deteksi dini kecacatan dan
pencegahan kcacatan, pendidikan, ketenagakerjaan,
aksessibilitas dan penghapusan kemiskinan. (eva)

0 Comments:

Post a Comment

<< Home