Thursday, December 09, 2004

PENCA DAN SISTEM PEMILU

Berpartisipasi dalam Pemilu, baik sebagai pemilih
ataupun dipilih adalah hak dan kwajiban setiap warga
negara. Pemilu diyakini mempunyai arti penting dalam
setiap penyelenggaraan pemerintahan karena Pemilu
adalah pelaksanaan dari gagasan demokrasi pemerintah
oleh rakyat. Suatu pemerintahan dianggap demokratis
apabila rakyat berpartisipasi di dalam jalannya roda
pemerintahan. Melalui Pemilu anggota parlemen sebagai
wakil rakyat dipilih, selanjutnya anggota parlemen
inilah yang membuat kebijakan untuk rakyat. Akan
tetapi, banyak anggota masyarakat yang tidak dapat
berpartisipasi dalam Pemilu, terutama para penyandang
masalah kesejahteraan sosial. Bahkan ada kecenderungan
untuk menghalangi mereka berpartisipasi secara
demokratis. Salah satu kelompok masyarakat penyandang
masalah sosial yang terabaikan haknya dalam sistem
Pemilu adalah para penyandang cacat (untuk selanjutnya
dalam tulisan ini disebut penca).

Partisipasi Politik Penca
Seperti disebutkan di atas, salah satu tujuan Pemilu
adalah memilih wakil rakyat untuk duduk di Parlemen,
dan selanjutnya anggota Parlemen yang membuat
kebijakan yang menyangkut pemenuhan kebutuhan rakyat
yang memilihnya. Kebijakan yang dibuat tentunya juga
menyangkut kebutuhan pelayanan yang dibutuhkan oleh
penyandang cacat sebagai warga negara. Bagi penca,
partisipasi untuk dapat dipilih dalam Pemilu adalah
penting sebagai "user" pelayanan publik untuk ikut
merumuskan kebijakan pelayanan yang dibutuhkannya,
karena sebagai "user" penca akan lebih tahu dan
mengerti apa kebutuhannya.
Dengan kata lain, penca perlu memiliki wakil di
Parlemen, untuk dapat menyuarakan aspirasi kaum penca
.
Kehadiran wakil penca di parlemen dapat melalui
partai politik ataupun dengan penunjukan dalam Utusan
Golongan. Penunjukan wakil penca di Parlemen melalui
Utusan Golongan dilakukan oleh beberapa negara seperti
Jepang, juga di Indonesia untuk Pemilu 1999.
Keterwakilan melalui Utusan Golongan bukanlah hal yang
mudah, karena memerlukan wakil yang benar-benar dapat
mewakili aspirasi penca yang terdiri dari berbagai
jenis kecacatan dan setiap jenis kecacatan mempunyai
kebutuhan yang berbeda. Untuk dipilih dalam proses
Pemilu, sistem Pemilu yang ada belum dapat memberikan
kesempatan bagi penca untuk menggunakan hak politiknya
secara wajar sebagaimana warga negara lainnya.

Beberapa Aturan Sistem Pemilu Berkenaan dengan
Kecacatan
Setiap negara memiliki aturan yang mengatur
keikutsertaaan warganegaranya dalam proses Pemilu.
Aturan Sistem Pemilu tersebut bagi penca dapat menjadi
pendorong untuk ikut serta berpartisipasi dalam Pemilu
dan juga sekaligus merupakan hambatan bagi
keikutsertaaanya dalam proses Pemilu. Berikut ini
beberapa aturan-aturan tersebut yang berlaku di
beberapa negara:
A. Aturan mengenai Pembatasan Keikutsertaan Penca
dalam Pemilu:
Batasan ini biasanya menyangkutkecacatan mental dan
fisik. Yang menyangkut kecacatan mental, di beberapa
negara aturan Pemilunya menyatakan bahwa seseorang
yang dinyatakan tidak waras atau dinyatakan berpikiran
tidak sehat dengan cara lainnya berdasarkan
undang-undang dilarang memilih atau mendaftar sebagai
pemilih. Di Italia, Belanda, Serbia dan Slovakia
secara jelas dinyatakan bahwa mereka yang sudah
kehilangan "kemampuan berusaha", "kemampuan bekerja"
dan "kecakapan" hukum dil;arang memilih dan mendaftar
untuk ikut dalam Pemilu.
Aturan Pemilu yang membatasi keikutsertaan penca
dalam Pemilu yang menyangkut kecacatan fisik biasanya
halangan yang menyangkut kemampuan berbicara. Hal ini
berlaku di Negara-negara Persemakmuran, misalnya
ketentuan : "seseorang dinyatakan memenuhi syarat
untuk dipilih sebagai anggota Dewan Nasional apabila,
dan tidak akan memenuhi syarat untuk dipilih, kecuali
jika dia..dapat berbicara,." Selain kemampuan bicara
juga ada aturan yang menyangkut kemampuan baca dan
tulis, seperti dinyatakan "seorang calon harus dapat
membaca dan menulis", di beberapa negara ketentuan ini
ditambah dengan "kemampuan membaca dan menulis dalam
bahasa nasional". Ketentuan-ketentuan tersebut
ditambah lagi dengan keharusan tidak tuli dan buta.

B. Aturan yang mendorong keikutsertaan Penca dalam
Sistem Pemilu
Aturan dalam sistem Pemilu tidak sepenuhnya
menghalangi keikutsertaan penca untuk berpartisipasi
dalam Pemilu, karena juga ada aturan yang mendorong
penca untuk ikut dalam pemilu, namun lebih untuk
keikutsetaan sebagai pemilih. Hal ini dapat dilihat
dari berbagai aturan sebagai berikut:

Bantuan bagi Pemilih untuk didampingi dalam memberikan
hak suaranya
Di beberapa negara, pemilih yang tidak mampu untuk
memilih sendiri karena kondisinya, diperbolehkan untuk
didampingi orang lain dalam memberikan pilihannnya. Di
Irlandia, misalnya dinyatakan bahwa jika seorang
pemilih adalah buta, ia boleh didampingi dalam
melakukan pemilihan, namun pemilih yang buta hanya
boleh didampingi oleh petugas Tempat Pemungutan Suara
(TPS), apabila ia cacat tubuh, ia boleh didampingi
oleh teman atau petugas TPS. Di beberapa negara,
ketentuan ini ditambah lagi dengan aturan bahwa si
pendamping harus mengambil sumpah atas kebenaran
keadaan ketidakmampuan sipemilih yang didampinginya
itu.

Bantuan memperoleh kemudahan dalam memilih tempat
suara dan format kertas suara dalam Pemilu

Lazimnya, pemilihan suara yang diberikan oleh pemilih
dilakukan di Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang telah
ditentukan. Di bebebrapa negara, pemilih penyandang
cacat diperbolehkan untuk menggunakan alternatif
lain. Di Australia, seandainya seorang pemilih berada
cukup dekat dengan TPS, namun tidak mampu hadir ke
tempat itu karena ketidakmampuan fisik, petugas yang
berwewenang dalam Pemilu membawakan kertas suaranya
atau pemilih dapat memberikan kartu suaranya lewat
kantor pos. Di Afrika Selatan, pemilih yang tidak
dapat datang ke TPS di mana mereka terdaftar, karena
kelemahan fisik dan atau mental, penca atau wanita
hamil dikategorikan sebagai pemilih khusus dan boleh
memberikan hak suaranya pada TPS khusus sehari sebelum
hari Pemilu dilaksanakan. Di Filipina, ada aturan yang
menyatakan bahwa petugas Pemilu harus memperhatikan
tempat pemungutan suara di seluruh wilayah di mana di
sana terdaftar pemilih penca, yaitu di berada di
lantai dasar. Di Srilanka dan Malawi, pemerintah
menyediakan transportasi bagi pemilih penca untuk
menuju dan kembali dari TPS.


Untuk format kertas suara, di Chili, pemerintah
menyediakan sebuah lempengan yang berisi huruf braile
atau kertas timbul bagi pemilih penca netra. Lempengan
tersebut diletakan di atas kertas suara biasa untuk
membantu si pemilih dalam menentukan calon yang
diinginkannya. Di Australia, disediakan Kartu Penunjuk
Pemilihan (How to Vote Card) bagi pemilih penca.
Melalui kartu tersebut, pemilih penca menjelaskan
kepada orang yang mendampinginya bagaimana ia menandai
kertas suara tersebut untuk calon yang dipilihnya.

Partisipasi Penca Indonesia dalam Pemilu
Jumlah penca di Indonesia cukup besar, menurut WHO
(1988) 10 per sen populasi dari setiap negara adalah
penca. Jika saat ini penduduk Indonesia diperkirakan
200 juta orang, maka 10 persen dari itu atau 20 juta
orang adalah penca. Namun, disayangkan jumlah yang
besar ini belum banyak yang menggunakan hak-hak
politiknya dalam pemilu, terutama hak politik untuk
dipilih sebagai anggota parlemen. Hal ini terutama
karena sistem pemilu yang ada saat ini belum
memberikan ruang yang sama kepada penca sebagai mana
warga negara Indonesia lainnya. Misalnya, salah satu
ketentuan yang dimuat dalam UU Pemilu menyebutkan
bahwa untuk dapat dipilih dalam Pemilu seeorang harus
dapat membaca dan menulis huruf latin. Persyaratan ini
jelas menggugurkan keikutsertaan calon penca yang
karena kecacatannya hanya mampu membaca dan menulis
dalm huruf Braile, belum lagi ketentuan-ketentuan lain
yang secara langsung atau tidak langsung menghalangi
keikutsertaan penca untuk dapat dipilih dalam Pemilu.
Untuk memberikan tempat kepada wakil penca di
Parlemen, dalam Pemilu 1999 yang lalu ditetapkan 2
orang penca dalm Utusan Golongan di MPR. Akan tetapi
kemudian timbul pertanyaan, siapa yang seharusnya
mengusulkan mereka untuk duduk di tempat terhormat
tersebut, karena begitu banyak organisasi kecacatan,
baik ormas maupun orsosnya, apakah mereka cukup
representative untuk mewakili beragam jenis kecacatan
mapun kompetensinya untuk menyuarakan aspirasi kaum
penca?
Pada sisi lain, jumlah penca yang besar ternyata cuma
dimanfaatkan oleh partai-partai politik yang ada untuk
mendapatkan suara darinya, misalnya, menjelang
Pemilu, partai-partai politik berlomba-lomba
memberikan santunan atau sumbangan untuk menarik
mereka. Padahal, yang diinginkan penca sebenarnya
bukan santunan yang sifatnya sementara, melainkan
suatu jaminan dari negara untuk mendapatkan pelayanan
dasar sebagai mana warga negara lainnya dan pelayanan
yang bersifat khusus berkenaan dengan kecacatannya.
Untuk memperbaiki partisipasi penca dalam pemilu,
barangkali penca sendiri perlu meningkatan
kesadarannya dalam berpolitik, termasuk untuk
menghimbau pihak-pihak yang berwewenang dalam proses
Pemilu memperbaiki sistem Pemilu yang ada.

Oleh Dra. Eva Rahmi Kasim, MDS

0 Comments:

Post a Comment

<< Home