Thursday, December 09, 2004

MASALAH PENYANDANG CACAT DAN ASPEK BUDAYA

Lebih dari dua dasawarsa yang lalu terjadi perubahan
penting dalam paradigma penanganan penyandang cacat
yang dipelopori terutama oleh para penyandang cacat
itu sendiri. Perubahan itu adalah pergeseran dari
memandang kecacatan sebagai akibat kerusakan atau
kelainan anatomi atau kelainan fungsi fisik atau
mental seseorang yang menyebabkannya tidak dapat
melakukan aktivitas secara 'normal', menjadi sikap
penerimaaan masyarakat terhadap seseorang yang
mengalami kelainan atau kerusakan fungsi fisik atau
mental (diskriminasi dan stigmasi). Atau yang sering
disebut sebagai perubahan pendekatan dari yang
bersifat medis kepada pendekatan sosial, dari
penanganan masalah individual kepada penanganan yang
bersifat struktural.

Sejak lebih dari duawarsa pula, masalah penyandang
cacat juga menjadi issu international penting yang
menjadi perhatian masyarakat dunia. Hal ini dapat
dilihat dari berbagai mandat dan instrument
internasional yang dikeluarkan oleh Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) dan badan internasional lainnya
yang menyebut dimensi kecacatan. Keprihatinan atas
kondisi kehidupan para penyandang cacat di berbagai
belahan dunia yang jauh tertinggal dalam berbagai
aspek kehidupan, mendorong timbulnya komitment
internasional untuk memberi perhatian bagi kelompok
masyarakat yang terpinggirkan ini.

Tahun 1981, ditetapkan oleh PBB sebagai Tahun
Internasional Penyandang Cacat. Hal ini dimaksudkan
agar masyarakat dunia di tahun tersebut mulai
memberikan perhatian bagi perbaikan kualitas hidup
penyandang cacat yang didasarkan pada prinsip
persamaan kesempatan dan partisipasi penuh dalam
berbagai aspek kehidupan. Untuk mempertegas komitment
tersebut, setahun kemudian, yaitu tahun 1982 PBB dalam
sidang Majelis Umum mengeluarkan Resolusi No. 37/52
tentang Program Aksi Dunia bagi Penyandang Cacat.
Resolusi ini berisi pedoman bagi para pemerintahan
untuk membuat kebijakan , rencana dan monitoring
program-program bagi perbaikan kualitas hidup
penyandang cacat. Dan untuk melaksanakan resolusi ini,
PBB menetapkan tahun 1983 - 1992 sebagai Dasawarsa
Internasional Penyandang Cacat. Diharapkan dalam kurun
waktu itu terjadi perbaikan kehiupan penyandang cacat.
Diakhir Dasawarsa Internasional di tahun 1993, PBB
mengeluarkan Peraturan Standarisasi bagi Persamaan
Kesempatan Penyandang Cacat dalam berbagai aspek.

Sepuluh tahun kemudian, semakin banyak negara yang
memberi perhatian pada program-program kecacatan,
namun perbaikan kehidupan penyandang cacat yang nyata
terjadi begitu lambat, hal ini terutama terjadi di
kawasan Asia dan Pasifik. Untuk itu, Komisi PBB di
bidang Ekonomi dan Sosial untuk Asia dan Pasifik
(UN-ESCAP) memandang perlu memperpanjang Dasawarsa
Internasional Penyandang Cacat untuk Asia dan Pasifik
satu dasawarsa lagi. Selain itu, ESCAP juga
mengeluarkan pedoman yang berisi 12 bidang utama yang
menjadi keprihatinan untuk dilaksanakan selama kurun
waktu 1993-2002. Hasilnya, satu dasawarsa
internasional dan satu dasawarsa Asia dan Pasifik
memang membawa perubahan pada kepedulian terhadap
penyandang cacat di berbagai belahan dunia, hal ini
terutama di bidang peraturan perundang-undangan, yaitu
dapat dilihat dari semakin banyaknya pemerintahan yang
memiliki undang-undang penyandang cacat dan berbagai
peraturan yang didasarkan pada prinsip persamaan
kesempatan dan partisipasi penyandang cacat dalam
berbagai aspek kehidupan. Bahkan, di beberapa negara
juga dibentuk komisi pemantau pelaksanaan
undang-undang tersebut.

Hal ini dapat diartikan juga sebagai suatu pengakuan
perlunya kerangka hukum dalam mengatasi masalah
penyandang cacat. Namun begitu, dalam kenyataan ,
tidak terjadi berubahan yang signifikan pada
perbaikan kualitas kehidupan para penyandang cacat.
Mereka tetap tersisih dari berbagai kemajuan, tetap
mengalami berbagai hambatan dalam mengakses pelayanan
dan fasilitas sosial pokok, seperti pendidikan,
kesehatan, lapangan kerja.

Suatu pertanyaan yang menggelitik bagi saya, mengapa
implementasi program-program penyandang cacat yang
sudah menjadi agenda internasional ini tidak membawa
perubahan yang signifikan bagi penyandang cacat,
terutama di kawasan Asia dan Pasifik dibanding dengan
apa yang terjadi di negara-negara barat seperti
Amerika dan Eropa?. Padahal hampir semua negara di
kawasan ini sudah memiliki undang-undang penyandang
cacat dan peraturan pelaksananya, namun sepertinya
perundang-undangan beserta peraturan pelaksana yang
telah dibuat itu tidak lebih sebagai retorika belaka.


Kita sering mendengar dan mungkin juga melihat dan
mengalami bagaimana negara-negara barat mengakomodasi
kebutuhan penyandang cacat, seperti penyediaan
aksesibilitas fisik semacam ramp pada fasilitas
publik, transportasi maupun bangunan. Juga membuka
akses di bidang ketenagakerjaan , pendidikan dan
berbagai aspek lainnya bagi warga yang menyandang
cacat.

Apa yang dapat kita lakukan untuk memperbaiki hal ini.
Haruskah kita melakukan demonstrasi di jalan maupun
parlemen untuk menuntut pelaksanaan persamaan hak yang
telah diundangkan bilamana pemerintah tidak
menyediakan fasilitas pelayanan sebagaimana yang
diamanatkan undang-undang?

Dalam menjawab tantangan ini, saya melihat beberapa
hal yang harus kita cermati , yaitu: 1. Karekteristik
Penyandang Cacat di Asia. 2. Aspek budaya masyarakat
Asia dan penerimaan mereka terhadap kecacatan.

1. Karekteristik Penyandang Cacat Asia
Populasi Penyandang cacat Asia adalah 2/3 dari
penyandang cacat dunia. Mereka tersebar di lebih 36
negara yang disebut Asia, yang umumnya adalah
negara-negara dengan ekonomi yang sedang berkembang.
Menurut laporan ESCAP, penyandang cacat di kawasan ini
umumnya hidup dalam keadaan paling miskin dan hidup di
lingkungan yang tidak memenuhi syarat kesehatan di
banding dengan warga masyarakat lainnya. Hal ini dapat
dipahami karena sebagian besar masyarakat Asia
bermukim di wilayah pedesaan dan miskin. Masyarakat
pedesaan jarang tersentuh pelayanan modern . Pelayanan
rehabilitasi modern bagi penyandang cacat di banyak
negara Asia, baru dimulai setelah perang dunia II. Itu
pun khusus ditujukan bagi korban perang. Umumnya
pusat-pusat rehabilitasi berada di perkotaan atau
pinggiran kota. Dengan gambaran kondisi penyandang
cacat dan sejarah pelayanan yang demikian, dapat
dibayangkan banyak penyandang cacat yang tidak
tersentuh pelayanan rehabilitasi, juga dapat
dipastikan mereka tidak pernah berpikir tentang
persamaan kesempatan dan partisipasi dalam berbagai
aspek kehidupan.

2. Budaya dan Sikap Penerimaan Masyarakat Asia
terhadap Penyandang Cacat.

Keberadaan penyandang cacat di kalangan masyarakat
Asia, sudah ada sepanjang sejarah bangsa -bangsa di
Asia. Seperti komunitas lainnya, bangsa Asia juga
memiliki cara pandang dan dan sikap terhadap
penyandang cacat yang merupakan refleksi dari budaya
mereka. Pemahaman konsep persamaan kesempatan dan
partisipasi penyandang cacat dalam perspektif budaya
Barat barangkali bisa berbeda dengan perspektif budaya
masyarakat Asia.
Kita tidak dapat pungkiri bahwa dalam komunitas
internasional, peran budaya Barat begitu dominan. Maka
tidak mengherankan bila dokumen/instrumen
internasional yang dikeluarkan juga kental nuansa
cara pandang budaya Barat. Akibatnya, ketika instrumen
tersebut diterapkan dalam perspektif budaya yang
berbeda menjadi tidak matching .
Misalnya, dalam masyarakat Barat, seseorang
digambarkan bebas dari konteks atau idependent.
Konteks di sini dimaksudkan adalah kondisi sosial dan
budaya di sekitarnya yang mempengaruhi kehidupan
seseorang, kelompoknya atau komunitas masyarakat
secara keseluruhan. Dalam budaya Barat, sesorang
dianggap memiliki otonomi atas dirinya, yang memiliki
kontrol atas dirinya sendiri dan pilihannya. Perilaku
diinterpretasikan melalui pemikiran atau perasaan dan
tindakan individual daripada keelompok. Misalnya
penganutan pada nilai-nilai kemandirian,
keterusterangan dan atribut-atribut yang bersifat
personnal. Mereka juga meyakini bahwa hanya
orang-orang yang memiliki kemampuan fisik dan mental
yang dapat berpartisipasi dan persamaan di dalam arus
kehidupan sehingga design pengorganisasian masyarakat
dan lingkungan adalah refleksi dari pemahaman ini.

Hal yang sebaliknya pada budaya Asia, pada masyarakat
Asia sesorang dinilai atau terkait dengan konteks atau
lebih pada lingkungannya. Misalnya, penganutan pada
nilai-nilai kekeluargaan, tanggungjawab kelompok atau
keluarga, penjenjangan dalam memikul tanggung jawab
(biasanya tertuju pada anggota yang tertua/senior),
penghormatan pada senioritas dan menjaga perasaan
orang lain serta kesetiaan pada kelompok. Nilai-nilai
untuk menentukan sendiri keputusan tidak begitu
dikenal pada masyarakat ini. Kepentingan individu
menjadi nomor dua setelah kepentingan kelompok.
Seseorang bisa jadi memendam keinginannya untuk
menghindari konflik dan menjaga keselarasan kelompok
ketimbang mendapat tekanan daripada kelompok.

Sebagai refleksi dari budaya yang demikian, seorang
penyandang cacat Asia bisa jadi tersosialisasi bahwa
kelompok (keluarga) akan memenuhi segala kebutuhannya,
karena mereka berkewajiban memelihara anggotanya. Hal
ini mungkin menyebabkan kurangnya kesadaran individual
pada kewajiban non-personnal kelompok di dalam
masyarakat. Dikalangan masyarakat Asia, seseorang
sejak masa kanak-kanak sudah tersosialisasi untuk
'menerima' apa yang disediakan tanpa mengeluh dan ini
juga mungkin yang menyebabkan seorang penyandang cacat
di kebanyakan negara Asia enggan mengungkapkan
keinginannya atau tidak berani mengungkapkan
kebutuhannya secara terus terang untuk menghindari
konflik atau tekanan dari warga lainnya.

Pemahaman ajaran agama dan nilai-nilai kepercayaan di
kalangan masyarakat Asia juga memegang peranan penting
dalam perbaikan kualitas hidup penyandang cacat.
Setiap agama dan kepercayaan memiliki ajaran yang
menggambarkan sikap terhadap penyandang cacat dan
sepintas terkesan seperti bersifat 'mendua', pada satu
sisi melukiskan kepasrahan total pada keadaan dan pada
sisi lain menggambarkan semangat atau memberikan
motivasi, sayangnya sikap yang pertamalah yang lebih
menonjol, karena pentafsiran yang sempit dari ajaran
tersebut. Misalnya, dikalangan ummat Islam (salah satu
agama yang paling banyak dianut di Asia) dipercayai
adanya takdir. Sesungguhnya takdir bisa
diinterpretasikan sebagai sesuatu yang bersifat baik
dan buruk, sesuatu yang bisa diubah. Tetapi kebanyakan
muslim terbiasa diajarkan untuk menerima kondisi
kehidupannya sebagai suatu takdir yang tidak bisa
berubah. Misalnya, seorang keluarga yang memiliki anak
cacat, pasrah dengan keadaan tersebut tanpa berusaha
untuk melakukan intervensi dini terhadap kecacatan
itu. Padahal, kalau intervensi dini dilakukan
permasalahan kecacatannya dapat diminimalisasi dan
anak dapat disiapkan untuk menyesuaikan kecacatannya
dengan kehidupan yang akan dijalani selanjutnya.

Pemahaman yang salah atau pentafsiran yang sempit
terhadap ajaran agama lainnya , misalnya, umumnya
agama mengajarkan pengikutnya untuk bersabar dalam
penderitaan karena surga adalah balasannya.
Hal ini dipahami bahwa memiliki kecacatan atau anggota
keluarga penyandang cacat sebagai suatu ujian untuk
tahan menderita, tidak mengeluh dan menerima kondisi
tersebut apa adanya tanpa berusaha untuk melakukan
perubahan apapun , misalnya melalui upaya rehabilitasi
. Kepercayaan masyarakat setempat terhadap kecacatan
juga mempengaruhi sikap terhadap penyandang cacat,
misalnya, kecacatan masih dianggap sebagai sesuatu aib
dan memalukan, sehingga anggota penyandang cacat harus
disembunyikan dari penglihatan warga lainnya.

Di banyak negara yang ekonominya maju, terdapat
kewajiban pemerintah untuk memberikan jaminan dan
asuransi sosial (social security dan social insurance)
bagi warga negaranya, terutama kaum penyandang cacat ,
lanjut usia dan miskin. Di kebanyakan negara Asia, hal
semacam ini belum tersentuh dan masih bergantung pada
upaya yang bersifat belas kasihan dari warga lainnya,
terutama dari orgabisasi sosial dan keagamaan. Dan
sayangnya, ini pun belum terorganisir dengan baik,
baik dalam pemungutannya maupun penyalurannya.
Misalnya, dalam agama Islam ada kewajiban pengikutnya
untuk membayar zakat. Dengan berzakat diajarkan bahwa
harta yang kini miliki adalah juga kepunyaan Allah,
dan setiap muslim wajib berbagi kepemilikannya itu
kepada kaum yang memerlukan.

Cara pandang dan sikap terhadap penyandang cacat
seperti yang disebutkan di atas juga berpengaruh
terhadap terhadap sikap atau perlakuan yang dianggap
"baik" atau" buruk" bagi penyandang cacat dalam suatu
komunitas masyarakat. Bisa jadi apa yang dianggap
"baik" dari sudut pandang masyarakat berbudaya Asia ,
bagi orang Barat "tidak baik" . Akan tetapi hal ini
tidak berarti bahwa persamaan persepsi dalam memandang
kecacatan tidak dapat dilakukan. Pada dasarnya budaya
adalah suatu interaksi yang dinamis dari berbagai
faktor. Untuk mencapai suatu masyarakat yang dapat
mengakomodasikan kebutuhan penyandang cacat yang
didasarkan pada prinsip persamaan dan partisipasi ,
perbedaan-perbedaan ini perlu diperhatikan dalam
implementasi program yang bersifat internasional di
negara-negara yang berlatar belakang budaya non-Barat.
Untuk itu, penyampaian informasi yang benar tentang
kecacatan perlu ditujukan pada semua tingkatan
masyarakat baik individual maupun kelompok dengan
memanfaatkan semua potensi yang ada di kalangan
masyarakat itu sendiri. misalnya, melalui si
penyandang cacat, keluarga, pemuka keagamaan, pemuka
masyarakat formal, para profesional. Organisasi
Penyandang Cacat barangkali bisa memprakasai pelatihan
sensitivitas budaya pada setiap pelatihan kecacatan
dan program-program yang dilakukan pemerintah
hendaknya juga program kecacatan yang peka terhadap
budaya lokal (cultural sensitivity programs). Dengan
cara itu akan timbul persamaan persepsi dan sikap yang
mendukung ke arah perbaikan kualitas hidup penyandang
cacat.

Hal lain yang perlu menjadi perhatian adalah penguatan
organisasi mandiri penyandang cacat (self-help group)
pada tingkat akar rumput dan mereka yang bermukim di
daerah pedesaan dan terpencil. Harus diakui, kita
selalu terfokus pada organisasi kecacatan pada tingkat
nasional, dan melupakan mereka yang berada pada
tingkat akar rumput. Padahal, pemberdayaan penyandang
cacat yang paling efektif dimulai dari organisasi
self-help group pada tingkat akar rumput

Oleh :Dra. Eva Rahmi Kasim,MDS

(Disarikan dari makalah yang disampaikan pada
Konggress Dunia ke-6
Organisasi Penyandang Cacat Dunia (DPI) di
Saporo,Jepang ,Oktober 2002)

1 Comments:

At 7:46 AM, Blogger Arie said...

ibu Eva Kasim,
Perkenalkan saya Arie dari Lampung. Kebetulan saat ini saya juga terlibat non struktural dg salah satu lembaga penyandang cacat di tingkat desa. Alhamdulillah saat ini anggota sudah mencapai 40 orang (total yg terdaftar, tersebar dari bbrp desa dan kecamatan). Kebetulan pionir yg skrg menjadi ketua adalah keluarga dimana 12 tahun yg lalu, ibu saya sbg PSM-pekerja sosial masy- yg mendampingi beliau mengikuti pelatihan di Solo.Dari sejak saat itu segala upaya coba dilakukan utk menjaga eksistensi dari keberadaan mereka utk menuju kemandirian, hingga 2 thn yl terbentuk LUKS-PPC di tingkat desa kami, yg disupport oleh dinsos propinsi tentunya, dimana kami semua menginginkan agar kami dapat membantu dan mengajak sesama penyandang cacat yg lain utk semangat dan bergerak maju menuju kemndirian.
Mohon sharing informasi dari ibu terkait dg hal2 ini. Yang kami inginkan hanyalah dapat berbagi semangat dan berbagi kebahagiaan selalu.

thx & rgrds,
arie
diah_triantari@yahoo.com

 

Post a Comment

<< Home